Rabu, 14 Desember 2016 |

Santri Teladan


Malam itu, hujan turun dengan derasnya mengguyur kota Bandung. Tapi suasana hangat masih menyelimuti penghuni asrama Daarunnajah. Dengan berbalut mukena putih-putih yang mendominasi, dan lainnya berbagai warna, termasuk mukenaku yang berwarna biru tua, kami melaksanakan shalat magrib dengan berjamaah di aula tengah. Suasana damai menyapa hati kami. Lantunan ayat-ayat yang dibacakan imam salah satu hafidzah teman kami, mengalir dengan indahnya bagai melodi syurga memanjakan telinga-telinga kami.
Saat ku langkahkan kaki menaiki tangga putih menuju lantai 3, kakiku terhenti di lantai dua. Pintu  menuju balkon terbuka lebar-lebar. Menampakan butiran-butiran air  berjatuhan susul saling susul. Udara dingin segera menyergap pori-poriku. Dan di balkon itu aku dapati seorang akhwat dengan balutan mukena merahnya berdiri di balkon tersebut dan menyentuh butiran-butiran air yang menetes.
Aku dekati dia dan ternyata air matanya menetes seirama dengan tetesan air hujan. Ku pegang pundaknya “Ukhti...ukhti kenapa? Dari kemarin terlihat sedih terus, ada apa?” tanyaku penasaran. Dia hanya menggeleng kepala, “Eh, kenapa? Apakah sedang ada masalah” tanyaku lagi.
Dia tertunduk sejenak, kemudian menatapku dan berkata.
“Teh, sungguh aku menangis bukan karena masalah apapun. Aku menangis karena begitu banyaknya Rahmat Allah yang Dia berikan untukku. Termasuk kalian. Teman-teman seperjuanganku. Yang kita sama-sama berusaha untuk menjadi penjaga kalamNya. Ukhuwah ini yang membuat setetes air bening jatuh dari kelopak mataku.”
Aku menghela napas sejenak. Udara dingin itu menusuk kalbuku seperti halnya ungkapan yang sahabatku itu sampaikan, yang menyadarkanku untuk senantiasa bersyukur memiliki sahabat-sahabat para pecinta Al-Quran. Maka saat itu aku langsung merangkul pundaknya.

***
Aisyah, sebutlah namanya demikian. Seorang mahasiswa pecinta novel-novel Tere Liye. Senang membaca dan merangkai kata, gadis bercadar ini adalah sosok wanita sederhana, ramah dan baik hati, tidak hanya pada manusia tetapi kepada makhluk Allah lainnya.
Pernah suatu hari kami seasrama merasa kelibukan karena adanya kucing yang akan melahirkan. Kucing itu kami beri nama si Bule, sebagian santri sayang pada si Bule namun meski begitu jika si Bule masuk kamar sering kami usir karena khawatir dia akan melahirkan di kamar. Sehingga kami pun kebingungan mencari tempat untuk kelahiran bayi-bayi si bule. Lalu Aisyah berkata dengan tulusnya “biarkan dia melahirkan di lemari saya”. Maka benarlah selama dua hari lamanya dia korbankan lemarinya untuk si Bule, hingga dia bisa melahirkan anak-anaknya.
Beberapa waktu kemudian, dalam acara pembagian rapor terpilihlah Aisyah sebagai santri teladan di asrama tempat kami tinggal. Dan perghargaan ini tentulah sangat cocok untuk disandangnya.

***
02 Oktober 2015 menjadi hari bersejarah untuknya yaitu saat Aisyah menggenapkan separuh agamanya dengan seorang ikhwan yang telah ia kagumi semenjak kelas tiga SMP.
Ijinkan saya sedikit mengurai kisahnya, ‘pernikahan yang tak disangka’ mungkin begitulah judul yang tepat untuk kisahnya ini. Karena bahkan teman-teman seasrama-pun tak ada yang diberi tahu, dan dia pun masih tak percaya akan menikah secepat itu.
Aisyah tentulah gadis yang terjaga, apalagi sebagai penghafal qur’an beliau tidak ingin terjerumus ke dalam cinta semu yang berujung dosa. Maka ketika dia tahu ada ikhwan yang ingin meminangnya, dengan sangat dia berharap dan berdoa agar bisa disegerakan karena tak mau ada fitnah apapun. Dan MasyaAllah, benarlah do’anya Allah kabulkan, persiapan surat-surat nikah yang biasanya ditempuh dengan waktu sepuluh hari bisa selesai dalam waktu tiga hari, orangtua pun yang sebelumnya kurang setuju menikah cepat akhirnya merestui, sehingga baginya ini adalah sebuah anugerah.
Dan pada liburan idul adha tersebut entah mengapa ia ingin membawa gaun putihnya dari Bandung, seolah telah ada feeling akan menikah, maka ternyata gamis sederhana itu menjadi gaunnya saat akad, yang dia tak pernah tahu sebelumnya bahwa akan  menikah selepas Idul Adha.

Sedikit yang menarik dari kisahnya adalah ternyata mereka adalah dua insan yang sama-sama memendam rasa dalam diam sekitar lima tahun lamanya. Semenjak masa-masa di pesantren, sang suami adalah kakak tingkatnya yang dua tahun lebih tua darinya. Ketika ada pengajian kitab bersama seluruh santri dengan adanya hijab atau pembatas antara santri akhwat dan ikhwan. Maka mereka berdua adalah yang paling menonjol dalam mengkaji kitab kuning tersebut. Sehingga teman-temannya serta merta mengatakan bahwa mereka adalah pasangan yang serasi, sama-sama pintar. Maka dari sanalah awal tumbuhnya benih-benih cinta yang berakar pada rasa kagum. Padahal tak sekalipun mereka saling bertatap. Bahkan hingga akad tibapun sang suami tak pernah tahu bagaimana wajahnya Aisyah, karena ketika khitbahpun tak ada permintaan dari sang ikhwan untuk melihat wajahnya sementara dia telah bercadar semenjak SMP.


Maka bagiku kisah mereka sungguhlah unik dan luar biasa betapa sang suami tak memilih Aisyah berdasarkan kecantikan, kekayaan, ataupun keturunan namun hanya berdasarkan agamanya saja. Begitulah kisah yang pernah Aisyah tuturkan padaku, ketika bertanya langsung pada suaminya setelah resmi menikah. 

0 komentar:

Posting Komentar