Malam itu, hujan turun dengan derasnya
mengguyur kota Bandung. Tapi suasana hangat masih menyelimuti penghuni asrama
Daarunnajah. Dengan berbalut mukena putih-putih yang mendominasi, dan
lainnya berbagai warna, termasuk mukenaku yang berwarna biru tua, kami
melaksanakan shalat magrib dengan berjamaah di aula tengah. Suasana damai menyapa
hati kami. Lantunan ayat-ayat yang dibacakan imam salah satu hafidzah teman
kami, mengalir dengan indahnya bagai melodi syurga memanjakan telinga-telinga
kami.
Saat ku langkahkan kaki menaiki tangga putih
menuju lantai 3, kakiku terhenti di lantai dua. Pintu menuju balkon
terbuka lebar-lebar. Menampakan butiran-butiran air berjatuhan susul
saling susul. Udara dingin segera menyergap pori-poriku. Dan di balkon itu aku
dapati seorang akhwat dengan balutan mukena merahnya berdiri di balkon tersebut
dan menyentuh butiran-butiran air yang menetes.
Aku dekati dia dan ternyata air matanya menetes
seirama dengan tetesan air hujan. Ku pegang pundaknya “Ukhti...ukhti kenapa?
Dari kemarin terlihat sedih terus, ada apa?” tanyaku penasaran. Dia hanya
menggeleng kepala, “Eh, kenapa? Apakah sedang ada masalah” tanyaku lagi.
Dia
tertunduk sejenak, kemudian menatapku dan berkata.
“Teh, sungguh aku menangis bukan karena masalah
apapun. Aku menangis karena begitu banyaknya Rahmat Allah yang Dia berikan
untukku. Termasuk kalian. Teman-teman seperjuanganku. Yang kita sama-sama
berusaha untuk menjadi penjaga kalamNya. Ukhuwah ini yang membuat setetes air
bening jatuh dari kelopak mataku.”
Aku menghela napas sejenak. Udara dingin itu
menusuk kalbuku seperti halnya ungkapan yang sahabatku itu sampaikan, yang
menyadarkanku untuk senantiasa bersyukur memiliki sahabat-sahabat para pecinta
Al-Quran. Maka saat itu aku langsung merangkul pundaknya.
***
Aisyah, sebutlah namanya demikian. Seorang
mahasiswa pecinta novel-novel Tere Liye. Senang membaca dan merangkai kata,
gadis bercadar ini adalah
sosok wanita sederhana, ramah dan baik hati, tidak hanya pada manusia tetapi kepada makhluk
Allah lainnya.
Pernah suatu hari kami seasrama merasa
kelibukan karena adanya kucing yang akan melahirkan. Kucing itu kami beri nama
si Bule, sebagian santri sayang pada si Bule namun meski begitu jika si Bule
masuk kamar sering kami usir karena khawatir dia akan melahirkan di kamar.
Sehingga kami pun kebingungan mencari tempat untuk kelahiran bayi-bayi si bule.
Lalu Aisyah berkata dengan tulusnya “biarkan dia melahirkan di lemari saya”.
Maka benarlah selama dua hari lamanya dia korbankan lemarinya untuk si Bule, hingga dia bisa
melahirkan anak-anaknya.
Beberapa waktu kemudian, dalam acara pembagian
rapor terpilihlah Aisyah sebagai
santri teladan di asrama tempat kami tinggal. Dan perghargaan ini tentulah
sangat cocok untuk disandangnya.
***
02 Oktober 2015 menjadi hari bersejarah
untuknya yaitu saat Aisyah menggenapkan separuh agamanya dengan seorang ikhwan
yang telah ia kagumi semenjak kelas tiga SMP.
Ijinkan saya sedikit mengurai kisahnya,
‘pernikahan yang tak disangka’ mungkin begitulah judul yang tepat untuk
kisahnya ini. Karena bahkan teman-teman seasrama-pun tak ada yang diberi tahu, dan dia pun masih tak
percaya akan menikah secepat itu.
Aisyah tentulah gadis yang terjaga, apalagi
sebagai penghafal qur’an beliau tidak ingin terjerumus ke dalam cinta semu yang
berujung dosa. Maka ketika dia tahu ada ikhwan yang ingin meminangnya, dengan
sangat dia berharap dan berdoa agar bisa disegerakan karena tak mau ada fitnah
apapun. Dan MasyaAllah, benarlah do’anya Allah kabulkan, persiapan surat-surat
nikah yang biasanya ditempuh dengan waktu sepuluh hari bisa selesai dalam waktu
tiga hari, orangtua pun yang sebelumnya kurang setuju menikah cepat akhirnya
merestui, sehingga baginya ini adalah sebuah anugerah.
Dan pada liburan idul adha tersebut entah
mengapa ia ingin membawa gaun putihnya dari Bandung, seolah telah ada feeling
akan menikah, maka ternyata gamis sederhana itu menjadi gaunnya saat akad, yang
dia tak pernah tahu sebelumnya bahwa akan
menikah selepas Idul Adha.
Sedikit yang menarik dari kisahnya adalah
ternyata mereka adalah dua insan yang sama-sama memendam rasa dalam diam
sekitar lima tahun lamanya. Semenjak masa-masa di pesantren, sang
suami adalah kakak tingkatnya yang dua tahun lebih tua darinya. Ketika ada
pengajian kitab bersama seluruh santri dengan adanya hijab atau pembatas antara
santri akhwat dan ikhwan. Maka mereka berdua adalah yang paling menonjol dalam
mengkaji kitab kuning tersebut. Sehingga teman-temannya serta merta mengatakan bahwa mereka adalah
pasangan yang serasi, sama-sama pintar. Maka dari sanalah awal tumbuhnya
benih-benih cinta yang berakar pada rasa kagum. Padahal tak sekalipun mereka
saling bertatap. Bahkan hingga akad tibapun sang suami tak pernah tahu
bagaimana wajahnya Aisyah, karena ketika khitbahpun tak ada permintaan dari
sang ikhwan untuk melihat wajahnya sementara dia telah bercadar semenjak SMP.
Maka
bagiku kisah mereka sungguhlah unik dan luar biasa betapa sang suami tak
memilih Aisyah berdasarkan kecantikan, kekayaan, ataupun keturunan namun hanya
berdasarkan agamanya saja. Begitulah kisah yang pernah Aisyah tuturkan padaku,
ketika bertanya langsung pada suaminya setelah resmi menikah.
0 komentar:
Posting Komentar