Jumat, 30 Desember 2016 |

Ada Sesuatunya

Bismillah,

"Menulis ala gue" inilah PR untuk tulisan terakhir kami di 30 Days Writing Challenge (30DWC) jilid 3 ini.

Hari-hari berjalan genap 30 hari, setidaknya membuatku menemukan gaya menulisku yang khas dalam sebulan ini.
Maka apa yang aku tulis kebayakan adalah tentang "pengalaman" bagaimana episodeku bertemu dengan orang-orang istimewa ketika aku bestatus sebagai santri di pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Maka beberapa telah aku urai kisah orang-orang hebat nan istimewa itu di #30DWC jilid tiga ini.

Begitulah tulisanku meski dengan kalimat-kalimat sederhana namun aku berusaha agar pembaca bisa menemukan makna, hikmah, inspirasi atau sejenisnya. Harus ada sesuatunya, itulah yang aku tekadkan di perjalanan 30 hari ini. Karena aku pun meyakini bahwa setiap kata yang tertulis kelak harus dipertanggungjawabkan di yaumil akhir.

Dari sini aku yakin bahwa siapapun kamu, dimanapun kamu, apapun kesibukan dan latar belakang pendidikanmu, kamu pasti bisa juga melakukan hal yang sama. Hal sederhana yaitu menulis = bercerita, cerita yang sebelumnya telah direnungkan terlebih dahulu agar kamu tahu apa hikmah yang akan disampaikan dan setelah itu langsung tuangkan dalam bentuk tulisan.

Maka yang terpenting lainnya adalah luangkan waktumu untuk menulis, karena tulisan tidak akan pernah ada jika tidak kita yang memaksa diri untuk menulis meskipun hanya 10 menit maka sempatkanlah, atau cara mudah lainnya selalu langsung tuliskan di buku kecil atau handphonemu ketika ide itu muncul meskipun hanya beberapa kata. Karena berdasarkan pengalaman kalau gak langsung ditulis suka kabur dengan sendirinya alias mudah lupa.hhe
Selamat menggali hikmah, selamat meluangkan waktu, dan selamat menulis.


Best regard,
Elfatunnisa Faridah. :-)

Kamis, 29 Desember 2016 |

Kisah Raihana

Kala itu, kala ku pertama datang untuk seleksi masuk ke ladang ilmu ini (stq). Aku, yang selalu ingin mengenal banyak orang memberanikan diri untuk menyapa beberapa orang yang akan menjadi teman seperjuanganku, sambil menunggu waktu tes tiba.

Diantara akhwat yang berkenalan denganku adalah Raihana yang tidak terlihat tegang sama sekali, tenang, penuh senyum dan menceriakan orang yang telah mengenalnya dengan tutur kata dan tingkahnya yang unik.

Apa yang terlihat saat seleksi itu ternyata memang karakter Rai yang sebenarnya. Selalu membahagiakan banyak orang. Meski terkadang tingkahnya terlihat suneh (suka aneh) namun banyak orang menyukainya. Dia yang selalu menolong orang lain dengan ringan tangan dan selalu berusaha terlihat ceria di depan semua orang.

Beberapa bulan bersama, terbukalah rahasia bahwa sebenarnya setiap kecerian yang ia tunjukkan adalah salahsatu caranya untuk menutupi kesedihannya mengenai perceraian orangtuanya beberapa hari sebelum seleksi tiba. Dan dia pun berkata bahwa salahsatu alasannya mendaftar jadi santri adalah sebagai cara pelarian dari rumah agar jauh dari kedua orangtua.

Tersesat di jalan yang benar. Begitu katanya. Meski mungkin awalnya niat menghafal Al-Quran sebagai pelarian namun setelah dijalani akhirnya di pun bisa menikmati perjalanan sebagai penghafal Al-Quran dan mulai merasakan nikmatnya mendekat kepada Allah. Dan MasyaAllah nya Raihana termasuk santri Allah mudahkan dalam menghafal Al-Quran. 

Dari kisah Raihana kita belajar, meski mungkin niat awal kita menghafal Al-Quran belum karena Allah namun dengan mudah Allah pun bisa meluruskan niat-niat yang tersembunyi selama kita sennatiasa meminta petunjukNya.



Elfatunnisa Faridah for #30DWC day 29

Rabu, 28 Desember 2016 |

Kisah Ta'arufnya

Sore ini aku bertemu teman sekelasku yang dulu sempat aku kisahkan ditulisan yang berjudul  "Teman Diskusi". (Klik : http://elfatunnisa.blogspot.co.id/2016/03/teman-diskusi.html )

Sahabat kuliahku ini seminggu yang lalu tiba-tiba sebar undangan pernikahan dengan seorang ikhwan yang juga seangkatan dengan kami tapi berbeda jurusan, sehingga sebagian besar teman-teman pun terkejut dengan undangannya.

Setelah aku bersalaman dan mengucapkan selamat padanya, ada tanda tanya besar mengenai bagaimana proses ta’arufnya dengan sang calon suami yang aktivis itu.

“teh gimana prosesnya ceritain dong?”tanyaku penasaran.

“singkat teh aku juga gak nyangka.”jawabnya.

Tentu tidak ada yang menduga bahwa sang ketua Tutorial itu bisa mendapatkan sahabat karibku ini.

“pasti lewat murobbi ya?” aku coba menebak.

“Ia teh. Beberapa waktu yang lalu murobiahku memintaku untuk membuat CV, ya sudah aku buat aja seadanya. Lalu tiga hari setelahnya beliau pun mengirimkan CV ikhwan yang mungkin sudah oke dengan CV aku sebelumnya, maka aku pun kaget ternyata dia adalah Husen teman seangkatan kita.”

“Setelah melihat CV nya maka bismillah aku bilang lanjut, karena aku meyakini kalau memang bukan dia yang jadi jodohku maka pasti Allah akan persulit proses ini. Namun jika jalannya mudah mungkin memang dialah pilihan Allah yang terbaik, maka aku mah lanjut aja.”terangnya.

“Terus gimana kamu bisa mantap denganya?”tanyaku lagi.

“Karena dari dulu aku berprinsip hanya akan menerima atau berproses jika itu dari murobiahku, dan bisa jadi ikhwan itu pun berprinsip sama, maka lahaula aku mantap padanya.”


“MasyaAllah...”ucapku.





Elfatunnisa Faridah for #30DWC day 28
Selasa, 27 Desember 2016 |

Negeri Impian

Bismillah,

Berbicara tentang masa depan mari kita menuju ke sebuah negeri dengan melintasi ruang dan waktu, sebuah negeri impian seluruh umat manusia, yang hanya dapat ditemukan jika telah melewati satu fase kehidupan yang ditakuti banyak orang yaitu kematian, dan negeri impian itu bernama surga.

Sebuah negeri yang kenikmatannya tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan tidak akan pula terpikirkan oleh akal manusia. Bagaimana tidak, kenikmatan terendahnya saja adalah sepuluh kali lipat kenikmatan atau kekayaan raja-raja di dunia. Bayangkan sepuluh kali lipat dari nikmatnya kalau kita jadi Ratu di Inggris ataupun sepuluh kali lipat dari kekayaan yang dimiliki oleh Bill Gates, sebagai orang terkaya di dunia saat ini. Atau kita menjadi seseorang yang memiliki sepuluh kali lipat kekuasaan dari Presiden Amerika atau presiden-presiden dimanapun. MasyaAllah itu buat yang paling rendah.

Dan luar biasanya kelak di Negeri Impian itu tak ada yang namanya duka atau kesedihan, tak ada rasa iri atau cemburu, tak ada jengkel apalagi marah, tak ada sakit apalagi luka. Semuanya hal positif semuanya kenikmatan bahkan upil dan buang hajat pun tidak ada disana.

Kita semuanya jadi orang kaya, sehat, berwajah cantik dan tampan dan jadi orang bahagia. Laki-laki punya istri banyak (72 bidadari), lalu perempuan mendapatkan perhiasan dan pakaian-pakaian dari sutera, gelas-gelas dari emas dan masih banyak lagi.

Mari kita tengok apa saja kenikmatan yang akan di dapat oleh penduduk surga berdasarkan Al-Quran dan Hadits :

1. Merasakan nikmatnya sungai susu, arak, dan madu
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamer (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring." (Muhammad : 15).

2. Mendapatkan isteri yang masih belia dan berumur sebaya
”Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya." (An Naba : 31-33).

3. Hidup kekal dengan nikmat lahir dan batin
Siapa yang masuk surga selalu merasa nikmat, tidak pernah susah, pakaiannya tidak pernah cacat, dan kepemudaannya tidak pernah sirna. (HR. Muslim).

4. Diberi umur muda
Ahli surga, berbadan indah tanpa bulu, matanya indah bercelak, umurnya 30 atau 33 tahun.(Shohihul Jaami).

5. Memandang wajah Allah yang mulia
Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Jika surga telah dimasuki oleh para penghuninya, ada yang menyeru : Wahai penduduk surga, sesungguhnya Alloh mempunyai suatu janji untuk kalian yang janji tersebut berada di sisi Alloh, di mana Dia ingin menuaikannya. Mereka berkata : Apakah itu? Bukankah Dia telah memberatkan timbangan-timbangan kami, memasukkan kami ke surga, dan menyelamatkan kami dari neraka? Beliau melanjutkan : Maka Alloh menyingkapkan hijabnya (tabirnya), sehingga mereka melihat-Nya (wajah Alloh). Demi Alloh, Alloh belum pernah memberikan sesuatu pun yang lebih mereka cintai dan menyejukkan pandangan mereka daripada melihat-Nya. (HR. Muslim).

Sebenarnya masih banyak sekali ayat dan hadits lainnya yang menerangkan tentang sifat-sifat surga, kenikmatannya, kesenangannya, kebahagiannya, dan keelokannya. Maka silahkan sahabat-sahabat cari sendiri. :) Semoga kelak Alloh menjadikan kita sebagai penghuninya.Aamiin

***

Untuk mendapatkan surga yang kekal dan penuh kenikmatan itu tentu tidak semudah yang dibayangkan. Jika ada yang bertanya tentang amal dan jalan menuju ke surga, maka jawabannya telah Allah berikan secara jelas dalam wahyu yang diturunkan kepada Rosul-Nya yang mulia. Di antaranya sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat Al Muminuun ayat 1-11.
Beberapa sifat-sifat penghuni surga :

Pertama, beriman kepada Alloh dan perkara-perkara yang wajib diimani dengan keimanan yang mewajibkan penerimaan, ketundukan, dan kepatuhan.

Kedua, khusyu dalam sholatnya yaitu hatinya hadir dan anggota tubuhnya tenang.

Ketiga, menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia (yang tidak mempunyai faedah dan kebaikan).

Keempat, menunaikan zakat yaitu bagian harta yang wajib dikeluarkan atau mensucikan jiwa mereka (karena salah satu makna zakat adalah bersuci) berupa perkataan dan perbuatan.

Kelima, menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri dan budaknya.

Keenam, memelihara amanah yang dipercayakan dan memenuhi janjinya baik kepada Alloh, kepada sesama mukmin, ataupun kepada makhluk lainnya.

Ketujuh, melaksanakan sholat pada waktunya, sesuai dengan bentuknya yang sempurna, dengan memenuhi syarat, rukun, dan kewajibannya.

Selain ayat di atas, Rasululloh shollallohu alaihi wa sallam juga telah menjelaskan tentang jalan menuju surga yaitu dengan menuntut ilmu syari. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Alloh akan memudahkannya dalam menempuh jalan ke surga. (HR. Muslim).

Ya Alloh, mudahkanlah kami untuk melaksanakan amalan-amalan ini dan tetapkan hati kami istiqomah di atasnya, serta masukanlah kami ke dalam surga-Mu.Aamiin...



Elfatunnisa Faridah for #30DWC dengan mengutip www.rumaysho.com
Senin, 26 Desember 2016 |

Om Tilawah Om

Bismillah, kemarin saya melakukan perjalanan Bandung-Bogor menggunakan bus kota, dan ternyata fenomena telolet itu benar adanya. Saya yang tinggal dan sehari-hari berada di lingkungan pesantren tak begitu tertarik dan tak mau tahu dengan fenomena telolet ini. Namun ketika melihat sendiri dan dengan banyaknya broadcast mengenai telolet ini saya jadi ingin sedikit bicara.

Sebenarnya lucu melihat secara lansung anak kecil berteriak sambil memegang karton atau kardus bertuliskan Om Telolet Om. Tapi kalau dikaji dari segi kebermanfaatan rasanya sayang sekali jika waktu mereka hilang hanya untuk berdiri di tepi jalan dan mendengarkan bunyi yang hanya beberapa saat itu. Lebih disayangkan lagi ketika yang melakukan hal ini bukan hanya anak-anak SD, tapi remaja bahkan orang dewasa pun ada yang beteriak Om Telolet Om. Subhanallah…

Pada saat itu bersamaan dengan teriakan “Om Telolet Om”, di dalam bus sendiri sedang diputar lagu-lagu pop maka seketika saya berfikir alangkah lebih baik kalau teriakan dan tulisan itu diganti jadi “Om Tilawah Om” dengan maksud untuk mengingatkan para supir bus untuk menyetel tilawah bukan lagu-lagu. MasyaAllah, jika hal itu dilakukan dijamin deh para supir bus ataupun penumpangnya bisa hafal Al-Qur’an karena terus-terusan diperdengarkan ayat-ayat qur’an selama berjam-jam perjalanan. Atau mungkin biar bernilai dakwah bisa diganti jadi “Om Dzikir Om”, “Om Istigfar Om”, atau “Om Takbir Om”, “Om Tasbih Om” karena Rasulullah saw menganjurkan kita untuk bertakbir (membaca Allahu Akbar) ketika ada tanjakan dan bertasbih (membaca Subhanallah) ketika ada turunan.

Semoga para orang tua bisa lebih peduli dengan anak-anaknya karena jika memang mereka menyukai bunyi tersebut ya sudah direkamin aja trus ulang-ulang di rumah tanpa harus berlama-lama berdiri di jalan karena hal itu bisa mengganggu lalu lintas atau membahayakan keselamatan pelakunya. Bukankah mereka sebaiknya lebih banyak belajar atau mengaji atau melakukan hal-hal manfaat lainnya. Wallahua’lam
Minggu, 25 Desember 2016 |

Dipersembunyian


Aku terlampau malu menampakkan diri
Meski hanya sekelebat melewatimu
Aku terlampau takut untuk menemuimu
Bahkan sekedar menjumpaimu di ruang imaji
Meminta dengan sangat pada jantung
Agar berdegup pelan saja
Kalau perlu berjingkat tanpa suara
Senyap
Agar kau tak mendengar tetalu bunyi gemuruh
Nan sebiasanya terhantar telepati
Aku terlampau takut untuk berbalik
melihat kau berkemul
Dalam rasa rindu dan bersalah nan merajam
Aku terlampau takut untuk menengadah wajah
Menatap masa depan
Nan tiba-tiba tersekat tirai hitam
Karna dosa yang menyelinap
Mencuri mimpi dan harap
Aku terlampau takut melangkah
Menatap nanar mengunci dari dalam
Mangawasi sesudutnya lalu menggigil sendirian
Aku terlampau takut Tuhan cemburu
Lalu murka
Atas khianat tak ternyana
Aku terlampau takut ayat-ayat-Nya
Enggan mengendap dicawan hati
Sebab maksiat melumuri
Aku terlampau takut berkah dan keajaiban itu menguap
Bak kapur arus dikeroposi udara
Tak tersentuh, tak teraba, tak terdeteksi
Namun memusnahkan
Aku terlampau takut
Aku
Terlampau
Takut


Sabtu, 24 Desember 2016 |

Ukhti, Ajarkan Aku Menangis


“Sebenarnya saya sungkan harus terus-terusan menegur dan mengingatkan teman-teman, namun bagaimana lagi saya lebih takut jika kelak saya dihisab di akhirat mengenai amanah ini.” dengan nada menahan sedih Fidya mengungkapkan isi hatinya dalam agenda tasmi' (simakan hafalan Al-Quran) kemarin.

Ketika banyak aturan yang harus ditegakkan namun masih saja dilanggar oleh beberapa santri mahasiswa, seperti aturan tak boleh terlambat, tak boleh main HP, dan tak boleh mengerjakan tugas atau aktivitas lainnya sebelum tasmi' selesai. Jika sudah dilanggar maka gadis asal Sukabumi itulah yang diamanahi sebagai ketua divisi keamanan berkewajiban untuk memberikan iqob (hukuman) dan tentu itu adalah hal berat baginya, apalagi  Fidya yang bisa dikatakan masih santri baru.

Ketakutannya kepada Allah tidak hanya dalam hal mengatur santri saja, namun saya pun sering melihatnya menangis dalam munajat doa nya setiap selesai shalat berjamaah.

Bahkan pada suatu dini hari, tepatnya pukul dua pagi dalam agenda doa bersama dan qiyamulail yang menjadi kebiasaan santri tahfidz saya berkesempatan duduk berhadapan dengannya. Duduk berhadapan adalah salah satu cara yang digunakan tim keamanan agar santri tidak tidur ketika berdoa sehingga kami harus saling menepuk bahu atau kaki ketika ada teman yang di depannya terlihat mengantuk.

Doa yang diawali dengan kalimat toyyibah itu bergema di sepertiga malam terakhir, dan saya menatap Fidya yang duduk dihadapan begitu khusu’ berdoa dengan mata tertutup dan air mata mengalir, ia tenggelam dalam doa itu sementara sebagian besar ada yang tidak serius atau malah terkantuk-kantuk. Maka saya pun malu sendiri melihatnya.

Pernah pula saya duduk berdekatan dengannya dalam sebuah kajian tafsir Al-Quran dan kala itu ustadz menceritakan kisah orang yang benar-benar menjaga dan mengamalkan Al-Quran perbandingannya seperti satu orang berbanding satu kampung. Maka seketika dia menagis dan berucap “teh saya mah masih jauh dari ahlul Quran” lalu dia tertunduk dan menyeka air matanya.

***


Dear ukhtiku, ajarkan aku bisa menangis sepertimu, ajarkan aku untuk bisa menikmati kemesraan bersama Allah seperti halnya apa yang kamu rasakan!
Semoga aku bisa memiliki hati selembut hatimu.aamiin.





Elfatunnisa Faridah for #30DWC day 24
Jumat, 23 Desember 2016 |

Mimpi Besarku

Bait-bait keindahan terangkai dalam mushaf suci
Goresan pena ilahi terlukis penuh arti
Memancarkan cahaya cinta dari Yang Maha Mulia
Meresap ke dalam relung jiwa

Rabbi, ingin ku ikat jiwa ini dengan firman-Mu
Agar aku senantiasa dekat dengan-Mu
Rabbi, ingin kuselami lautan kalam-Mu
Agar kupahami apa yang termaktub dalam kitab-Mu
Rabb, ingin ku peluk selalu Al-qur’an ini
Agar menjadi penyejuk nuraniku

Menggenggam erat kitab-Mu
Membaca baris-baris kalam-Mu
Menghafal semua isi firman-Mu
Mengerti maksud cinta-Mu
Serta mengamalkan risalah-Mu
Adalah impian terbesarku

Agar aku bisa menjadi keluarga-Mu dibumi
Hingga kelak aku bisa berjumpa dengan-Mu
Kamis, 22 Desember 2016 |

Rahasia Kakak Hebat

Bismillah, ini adalah tulisan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Kakak Hebat”

Kakak hebat. Begitulah aku menyebutnya. Dengan segala pencapaian prestasi di kampus, di rumah maupun di pesantren selayaknya dia disebut kakak hebat. Aku meyakini bahwa orang-orang hebat pasti memiliki amalan rahasia seperti halnya para kekasih Allah. Lalu apa gerangan yang menjadi rahasia kesuksesannya dalam kuliah dan menghafal al-qur’an?.....

Aku bertanya ke beberapa teman dekatnya.
Mungkin rahasianya shalat khusu, lihat saja kalau dia shalat pasti begitu tenang.” Ungkap seorang teman. Menurutku hal ini bisa jadi benar karena aku pun melihat sendiri kalau dia shalat penuh ketenangan.
Mungkin karena beliau sangat ghadul bashar (menjaga pandangan), setiap ikut kajian aja beliau gak pernah menatap ustad secara langsung.”ungkap teman lainnya.

Semua jawaban yang diberikan teman-teman tidak serta merta menghilangkan rasa penasaranku mengenai amalan rahasianya. Maka dari sana aku lebih jeli memperhatikan setiap gerak gerik atau keseharian beliau. Hingga dari sana aku tahu kalau beliau memang tak lepas berdzikir.
Teringat saat itu ketika kami bersama-sama akan pergi kuliah atau saat kami akan shalat tarawih dan aku duduk di sampingnya dalam mobil ustadz  maka aku mendengar lisannya tak henti bergumam, beliau bergumam menyebut asma-asma Allah dengan sangat pelan, dan aku mendengar bisikan suaranya itu.

Maka dzikir di mobil itu terimplikasi juga dalam kesehariannya, bahwa yang luar biasa nya setiap akan melakukan suatu aktivitas apappun beliau tidak pernah lepas membaca bismillah. Setiap akan makan, apakah itu nasi ataupun hanya kripik beliau selalu membaca lafaz basmallah. Tak terlewat juga ketika minum, selalu bismillah dan di akhiri dengan alhamdulillah.

MasyaAllah.... semoga kita bisa mengamalkan apa yang sering beliau lakukan.aamiin


Rabu, 21 Desember 2016 |

Kakak Hebat


Lautan telah ia sebrangi hanya untuk menuntut ilmu, Banjarmasin-Bandung itulah perjalanan yang harus dia tempuh. Awalnya merasa berat kenapa harus jauh-jauh menuntut ilmu untuk sekedar ilmu dunia, ada apakah gerangan padahal dari kecil sampai selesai S1 (sarjana) belum pernah sekalipun meninggalkan kampung halaman. Hingga akhirnya Bandung memang jawaban dari sebuah mimpi yang lebih besar dari sekedar gelar S2 (Magister), tapi juga pencapaian gelar dunia akhirat menjadi "hafidzah"
Pertama melihatnya aku kira dia adalah adik SMA ku yang dulu sudah hafal 8 juz. Senyumannya mengingatku pada dia, oh tapi ternyata bukan. Namun senyum tulusnya sama. Sebelumnya aku biasa aja dan acuh padanya namun semenjak orang-orang ramai membicarakan banyaknya hafalan yang dia setor, sementara dia adalah mahasiswa S2 maka akupun mulai bertanya-tanya tentang dirinya.
Hingga tibanya satu takdir bahwa kami harus tinggal bersama dalam satu atap rumah dua tingkat berlantaikan kayu jati. Sebut saja tempat itu rumah impian, sebuah asrama persinggahan selama asrama kami direnovasi.
Gadis ini bernama Nura, seperti namanya kehadirannya benar-benar memberi cahaya untuk orang disekitarnya, senyuman tulus, kelembutan, tutur kata terjaga, kesederhanaan dan kecerdasannya membuat semua orang menyukainya. Bahkan aku suka berkata sendiri dalam hati “sungguh beruntung kelak yang jadi suaminya, karena mendapatkan Nura, wanita shalehah”.
Sepanjang kebersamaan kami tak pernah aku mendengar keluh kesahnya, bisa dikatakan dia adalah orang yang senantiasa ridho dengan ketentuan Allah. Tidak hanya keridhoan namun diapun memiliki hati yang tulus saat memberi, selalu dan selalu tak pernah mengharap balas meskipun mendapat kerugian.
Atas segala keihlasannya pantaslah ia mendapat predikat dan penghargaan sebagai “Santri Terkhidmat” karena dengan banyaknya tugas ataupun target hafalan yang harus dikejar tapi tak pernah sekalipun dia menolak untuk berbuat kebaikan. Salahsatunya adalah menjaga anaknya ustadzah kami yang masih berusia tiga tahun. Sungguh aku sangat terkagum dengan semua kebaikannya, senang berkhidmat, dan tak pernah sedikit pun terlihat membanggakan diri.
***
Siang itu adzan dzuhur berkumandang dan aku seketika terbangun dari tidur siangku. Segera aku menuju kamar mandi dan saat itu pintu kamarku berhadapan langsung dengan pintu mushola yang sekaligus juga aula di asrama kami.

Teh uda adzan dzuhur kan?” seketika aku bertanya pada Nura yang saat itu hendak masuk aula, “ia teh sudah” maka dia langsung menuju mushola untuk melaksanakan shalat sementara aku menuju kamar mandi karena baru bangun tidur.

            Maka selepas shalat dzuhur itu aku langsung menuju mesjid sesuai dengan agenda harianku menghafal hingga shalat ashar tiba. Setelahnya shalat ashar aku kembali mengulang hafalanku dan selanjutnya menju asrama DAIM (singkatan dari Daarul Iman, asrama lainnya bagi santri tahfidz akhwat) sekitar pukul 16.30, maka kondisi asrama DAIM saat itu sedang ramai dengan yang halaqah quran.

Ketika aku melewati teman-teman yang setoran, lantas salahsatu dari mereka bertanya “Nura sudah pulang ke Kalimantan?” mereka mengajukan itu karena aku adalah teman asramanya.
Maka sontak aku bertanya balik “hah pulang ke Kalimantan? Emang ada apa?...”. lalu mereka menjawab “kan adiknya meninggal tadi pagi jam 09.00”.
“innalillahi wainna ilahi rojiun, ah masa? tadi siang saja aku masih bertemu dan berbicara dengannya sebelum shalat dzuhur.” Jawabku dengan wajah tak percaya.
“Ketika di kampus tepatnya jam 9 dia dikabari kalau adiknya meninggal kemudian dia diantar sama teman-teman kelasnya ke asrama. Dan dibelikan tiket juga dengan jadwal penerbangan jam 1 katanya.”urai salah seorang teman kelasnya

Saat itu aku sedih dan tak karuan karena merasa baru tadi pas shalat dzuhur aku bertemu Nura dan dia terlihat biasa saja tidak terlihat ada sesuatu yang terjadi. Aku terhanyut dalam obrolan dan berbagai pertanyaan mengenai kematian adiknya karena memang saat itu aku tidak memiliki HP yang ada Whatsapp sehingga aku banyak ketinggalan info.

Maka saat itu akupun lupa kalau jam telah menunjukkan pukul lima sore lewat, dan dalam aturan asramaku bahwa siapa saja yang pulang ke asrama melebihi jam 17.00 maka dia mendapat iqob (hukuman) untuk menyikat seluruh WC asrama.

Aku pulang segera ke asrama dan ternyata gerbang sudah di kunci maka aku diperbolehkan masuk dengan konsekuensi mendapat iqob (hukuman) untuk menyikat WC. Maka aku masuk dan langsung menangis sedih, karena sama sekali  tak tahu apapun mengenai kematian adiknya Nura.
Kemudian seseorang teman dekat menghampiriku dan menceritakan semuanya.

Ya Allah pada saat itu aku benar-benar ingin menangis karena terkagum padanya bahwa Nura benar-benar telah merahasiakan kesakitan adiknya padahal hampir satu tahun lebih sang adik menderita sakit kangker Rahim (mileum).

Betapa sakit adiknya yang begitu parah pun dia tak mau diketahui oleh teman-teman dekatnya. Barulah setelah kematian adiknya semua kisah itu terungkap juga.
Sekembalinya dari Kalimantan setelah sekitar 2 minggu lamanya pulang, maka Nura pun kembali ke Bandung dan dia menceritakan semua kisah adiknya termasuk bagaimana sabarnya sang adik.

Dalam keadaan dia (adiknya) yang tahu kalau sakit parah, namun tetap ingin mempertahankan rahimnya karena dia ingin  bisa melahirkan. Kemudian cita-cita mulia pula dari sang adik yang sengaja membeli alat-alat kesehatan sesuai dengan jurusannya yaitu keperawatan. Dia berucap kepada keluarganya kalau setelah kesembuhannya dia ingin tinggal di desa sang nenek untuk membantu kesehatan masyarakat disana.

Aku benar-benar terharu kepada sang adik dengan perjuangannya melawan sakit yang ganas, namun dia tetap teguh dengan cita-cita yang mulia.

Seperti halnya sang kakak yang hebat itu maka adiknya pun hebat. Kakak yang tak pernah mengumbar derita dengan adanya ujian hidup yang Allah beri. Dia yang selalu tenang dengan semua tugas-tugasnya, juga segala hal yang menyapa di hidupnya. Betapa jiwa penuh kesyukuran itu terpancar di wajahnya.

Beberapa pekan sebelum adiknya meninggal aku sempat bertanya perihal kematian kepadanya. “Teh kenapa ya terkadang aku masih takut mati dan akhir-akhir ini aku sering keingetan mati terus, kalau teteh sering kayak gitu juga gak?”. Maka beliau menjawab “kalau aku setiap ingat mati langsung jadi doa aja teh, seketika suka langsung berdo’a Ya Allah matikan aku dalam khusnul khotimah dan semoga engkau jauhkan aku dan keluarga dari azab kubur.”



insyaAllah to be continue...
Elfatunnisa Faridah for #30DWC
Selasa, 20 Desember 2016 |

Seharian Tentang Kamu


17.55 alhamdulillah Novel “Tentang Kamu” tamat aku baca. Hampir seharian aku bersama novel ini. Dan masyaAllah isinya mengaduk-ngaduk insting kepenasaranku, membuat tangisku terisak, hingga akhirnya tersenyum lega saat membaca ending ceritanya. Novel ini sungguh mengesankan dibandingkan novel-novel Tere Liye yang sebelum-sebelumnya pernah aku baca.

Setiap kali akan membaca atau selesainya membaca sebuah buku yang paling pertama harus ditanya adalah apa manfaat dari buku tersebut?.... Well, mari kita menggali hikmah dari novel istimewa ini.

1. Berjuanglah seperti Sri Ningsih

Sri Ningsih adalah tokoh utama dalam buku ini. Bang Tere benar-benar apik memaparkan siapa itu Sri, dan tentu membuat aku sangat terkagum dan terkesan dengan sosoknya. Seorang wanita memiliki sejuta kebaikan; penuh ketulusan, kejujuran, pekerja keras dan pantang mengeluh. Ibroh terbesar dari sebuah buku adalah bagaimana buku ini bisa merubah hidup pembacanya termasuk aku, bukan sekedar berlama-lama seolah membuang waktu membaca buku seharian dengan cerita yang fiktif atau khayalan tapi bagaimana agar sifat-sifat kebaikan dari tokoh yang diceritakan bisa menjadi teladan, bisa menjadi penyemangat dan tentu harus memberi perubahan bagi siapapun yang membaca. Maka aku setelah membaca novel ini, menjadi bersemangat untuk mencoba hal-hal baru salahsatunya berbisnis, seperti yang dilakukan Sri Ningsih. Juga aku menekadkan ingin menjadi seseorang yang ringan tangan dalam membantu siapapapun, untuk terus belajar dan berjuang seperti halnya Sri Ningsih yang pantang menyerah. Bukankah kesungguhan tidak akan menghianati hasil. Bismillah....

2. Bersabarlah karena ujungnya pasti manis

Selain mengajarkan hakikat perjuangan buku ini juga mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang sabar dalam segaal hal. Seperti kata pepatah Arab “Man shabara Zafira” Barangsiapa yang bersaabar maka ia beruntung.

3. Yakinilah bahwa cinta sejati akan hadir di waktu yang tepat

Ini adalah bagian paling menarik dari buku ini Bab 22-25, kisah cinta yang mengharukan antara Sri dan Hakan, meski mereka bertemu dan jatuh cinta di usia yang tidak muda tapi itulah sejatinya cinta bahwa cinta tidak perlu ditemukan, tapi cintalah yang akan menemukan kita diwaktu yang terbaik menurut-Nya. Aku berusaha meyakini hal ini, bahwa mungkin tak berapa lama cinta akan mempertemukan aku dan dia (someone).#ngarep.hhe... Tak perlu ada khawatiran karena Allah Maha Tahu cara dan waktu yang terbaik. So sweet banget deh baca kisah ini bikin air mata mengalir mengharu biru.

4. Jauhi iri dan dendam karena semua itu akan menghancurkan

Dari buku ini akaupun belajar bahwa rasa iri, dengki hanya akan menghancurkan kita sendiri, seperti yang terjadi dengan Musoh dan Lastri. Seperti pula yang disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa hasad/ dengki dapat menghapus kebaikan-kebaikannya seperti halnya api menghabiskan kayu bakar. Naudzubillah.

5. Jagalah sifat jujur meski nyawa taruhannya

Tidak hanya Sri tapi tokoh Zaman yang ada dibuku inipun cukup menarik perhatianku, bagaimana dia berjuang keras untuk menemukan bukti-bukti kebenaran dan mempertahankan kebenaran meskipun nyawa menjadi taruhannya. Andai hari ini siapapun yang sedang diberi amanah, apakah dia pejabat, pengusaha, guru atau pelajar memegang teguh prinsip kejujuran niscaya bangsa ini akan makmur sentosa. Semoga seluruh elemen masyarakat Indonesia bisa menjadi pribadi-pribadi yang jujur, termasuk aku. Aamiin...

Demikianlah lima hikmah yang saya ambil dari novel ini, meski sebenarnya masih banyak hikmah lainnya tapi biarlah teman-teman yang menemukannya sendiri. Jadi ayo baca bukunya!!!

o ya ada yang terlewat, sesuatu yang sangat penting dari buku ini bahwa dari sini aku belajar tentang bagaimana kita akan dikenang setelah kematian. Hidup kita terbatas, hidup hanya sekali, maka lakukanlah hal-hal terbaik seperti yang dilakukan Sri Ningsih, melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan meskipun tak banyak orang yang mengenal. Selamat mengamalkan, semoga Allah senantiasa membimbing kita semua untuk berada dijalan hidayahNya.aamiin
Senin, 19 Desember 2016 |

Sang Penyeru Kebaikan

Bidadari ini hadir di bumi, sosok yang tidak bisa diam jika melihat orang lain bersantai dalam menuju Allah.

Ini bukan hanya karena profesinya sebagai mudarisah atau pendamping santri yang telah dia jalani selama dua tahun. Tapi karena cintanya kepada Islam dan dakwah ia bisa melaksanakan semuanya total. Setiap 30 menit sebelum shalat ia datangi kamar santri dengan suara lembutnya “akhwat ayoo bangun… persiapan salat dzuhur” Tidak hanya ketika shalat dzuhur tapi setiap hari senin dan kamis sekitar pukul 4 dia selalu mengingatkan santri dengan suara lembutnya “santri ayoo sahur!!!”

Tidak hanya dalam aspek dakwah, kesabarannya memang telah terbukti. Masih ku ingat bulan Oktober 2014 dia akan menghadiri pernikahan temannya dan berkata padaku “kalau ada temen yang nikah teteh mah pasti usahain hadir, biar bisa segera nyusul” mungkin itu adalah semburat isi hatinya akan pernikahan yang telah lama ia nanti, dan subhanallah... sebulan kemudian ternyata benar dia bisa menikah dengan orang yang tidak pernah dia duga sebelumnya yaitu sesama santri karya, di usianya yang menginjak 29 tahun.

Di suatu sore saya berbincang dengannya mengenai permasalahan-permasalahan santri dan banyaknya pelanggaran yang dilakukan teman-teman santri, “Semua permasalahan ini mungkin karena teteh yang belum bisa maksimal mengatur teman-teman, mungkin iman teteh sedang bermasalah.” Ucapnya dengan tulus padaku yang saat itu diamanahi sebagai ketua asrama.

Padahal aku tahu betul bahwa beliau telah berusaha keras untuk bisa menjadi mudarisah yang baik dengan semua ketulusan, keteladanan dan pengorbanannya. Lalu beliau pun bercerita bahwa sebelum menjadi mudarisah beliau senantiasa berdoa di setiap shalat-shalatnya “Ya Allah jadikan aku wanita sholehah...” karena baginya itulah salahsatu cita-cita nya di dunia, yaitu menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia.

Dia pun menceritakan bagaimana perjuangannya untuk bisa dekat dengan Allah, salahsatunya adalah dengan shalat tepat waktu di mesjid. Baginya mesjid adalah tempat nongkrong terindah, disana dia besujud, tilawah, dan menangis mengingat semua dosa di masa lalu juga mengingat semua kenikmatan yang Allah beri.
Minggu, 18 Desember 2016 |

Gerimis Desember


Menikmati hujan turun
Membiarkan kuyup
Membasahi dedaunan, juga hatiku

Menyusuri tempat persinggahan
Kemana hendak pulang

Kali ini dan esok
Tak ingin ada kerutan dihati
Cukup terdiam

Dan kembali menyimak
Emosi yang terendam
Aroma tanah basah

Lepaskanlah
Karena ia tak pantas diharapkan
Bila gerimis ini reda
Jadilah jiwa yang baru
Dan katakan selamat tinggal masa lalu




18 Desember 2016
#30DWC days 18
Sabtu, 17 Desember 2016 |

Rumah Kesuksesan


Hari ini aku menyengaja meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat yang begitu berarti selama aku di Bandung. Daarun Najah itulah nama asramaku tiga tahun yang lalu. Asrama khusus santri akhwat Daarut Tauhiid yang sebelumnya dihuni oleh berbagai program, kemudian diambil alih jadi asrama khusus santri tahfidz. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Daar berarti rumah dan najah berarti berhasil atau sukses. Maka tempat ini bisa dikatakan sebagai rumah kesuksesan begitulah aku senang menyebutnya. Berada di dalamnya seolah kami senantiasa di doakan untuk menjadi pribadi yang sukses dunia akhirat.

Dan rumah ini telah menjadi saksi bisu perjuangan akhwat (jamak dari wanita) untuk bisa menjadi hafidzah dan menjadi muslimah great mother masa depan. Beberapa tahun yang lalu adalah aku bersama teman-teman seangkatanku yang menggaungkan ayat-ayat sucinya di rumah ini. Namun kini waktu telah berganti dan wajah-wajah baru yang kini hadir disini.
Kini wajah rumah inipun telah berubah, sudah tak ada lagi kolam di halaman depannya yang biasa diisi oleh santri-santri yang melanggar peraturan.


Aku menatap bangunan itu takjub, dua tahun yang lalu lingkungan Daarun Najah ini terdiri dari rumah dan satu ruangan kosong saja. Kini ruang kosong (aula) telah berganti menjadi bangunan tiga lantai yang cukup megah, dan dilengkapi juga dengan ruang bawah tanah yang menambah kapasitas santri disini.

Udara disini masih sejuk seperti sedia kala, aku kini memang sudah tak tinggal disini lagi tapi kenangan akan Daarun Najah tak pernah lekang dari ingatan.

Dulu, kami setiap hari menyapu halaman, menyiram tanaman lalu duduk dibawah pohon untuk sekedar rehat atau menyengaja menghafal alqur’an. (Sayang pohon besarnya sekarang sudah tak ada)

Dulu, kami berkejaran menuju gerbang asrama atau manjat tembok ketika gerbang telah lebih dulu dikunci. Tentang berkejar-kejaran ini aku teringat ketika aku, Ira, dan Purnama balapan untuk segera sampai asrama antara “jalan kaki vs naik sepeda”. Aku dan Purnama lari kencang sementara Ira menaiki sepeda, kami berlomba lari dan mengayuh sepeda sambil berteriak “aku akan Khatam duluan” dengan penuh semangat dan keceriaan akhirnya kami sampai. Maka yang jadi pemenang dalam balapan itu adalah Ira dan MasyaAllah.... dalam kehidupan nyata ternyata benar dia duluan Khatam meski duluan pula keluar dari pesantren karena tekadnya mengejar mimpi yang lain yaitu berumah tangga dan kuliah di luar negeri. Alhamdulillah sekarang Ira sedang menunut ilmu di Pakistan bersama suaminya. Sebuah impian yang jadi kenyataan dan kami mejadi lebih bersemangat untuk mencapai hal yang sama. Semoga secepatnya.

Dulu, setiap hari Ahad ada yang namanya opsih (operasi bersih) dlanjutkan dengan masak dan makan bersama seluruh santri. Dan saat-saat makan di nampan ini sangat aku rindukan.

Dulu, manjat atap rumah tetangga adalah hobiku dan Ira maksudnya untuk mencari tempat yang nyaman dalam menghafal. Dasar kami akhwat nekad, yang penting bukan untuk kabur atau maling.hehe.... Lalu saat sedang ramai peristiwa pencurian kamipun membuat jadwal piket jaga malam, dengan pembagian dua shiif ; shif satu jam sepuluh sampai jam dua belas malam, shif dua jam dua belas sampai jam dua pagi, setelah itu barulah yang piket membangunkan seluruh santri, maka pada masa-masa itu kami sedikit sekali tidur.

Dulu, antri kamar mandi adalah hal biasa bagi kami dan jam 4 dini hari sudah ada hitungan mundur tim keamanan untuk bergegas ke mesjid, maka setiap subuh kami berjalan menuju mesjid Daarut Tauhiid yang jaraknya sekitar 1 km.

Kemudian yang juga terkenang adalah kejadian-kejadian horor seperti kesurupan dan penampakkan yang pernah terjadi di rumah ini. Tapi itu dulu, insyaAllah sekarang sudah tak ada horor-horor lagi.ahha...

Itulah sekelumit kenanganku di Rumah Kesuksesan (Daarun Najah) yang membuatku tersadar bahwa waktu begitu cepat berjalan, lalu aku masih seperti ini "mana kesuksesan yang dapat aku persembahkan?" dan kini Daarun Najah (DN) pun telah berubah, kecuali saung tempat setoran yang masih gagah berdiri seperti beberapa tahun sebelumnya. J


Apa yang terjadi menyadarkan bahwa inilah kehidupan, dan Allah perjalankan dan putarkan 
kehidupan ini sesuai dengan kehendak-NYA. Tugas kita saat ini adalah menjadi sebaik-baiknya hamba dengan amanah yang Allah titipkan.
Kenangan memang tak bisa diulang tapi kita bisa mengulangi kebahagiaan di dalamnya. Bersyukur dengan apa yang ada dan berusaha untuk menjadi insan yang lebih baik setiap harinya, mewujudkan do’a dari Daarun Najah.


Terimakasih Daarun Najah. Jazaakallahu khairan katsir terkhusus untuk hamba Allah yang telah mewafakafkan rumahnya menjadi asrama santri. Betapa pahala besar telah menanti untuk siapapun yang menjadi jalan berdirinya Daarun Najah ini. Barakallah.....



Elfatunnisa Faridah for #30DWC days 17
Jumat, 16 Desember 2016 |

Amanah Baru



Jum’at berkah. Begitu selalu aku mengistimewakan hari yang disebut sayyidul ayyam ini dengan memperbanyak salawat, membaca surah al-kahfi, dan kegiatan bersih-bersih diri.

Pukul 10.30, adalah jadwal mengajarku di mesjid dekat kampus. Ketika aku sampai di depan mesjid handphoneku bergetar lalu nampaklah sebuah nomor berakhiran angka 3 dilayar hp-ku dengan picture akhwat tanpa muka berkerudung hijau.

“Assalamua’laikum. Teh, teteh lagi dimana?”tanya suara dibalik telepon.

“walaikumsalam. Teteh di mesjid Ka”jawabku seketika setelah mendengar suara paraunya dan aku langsung ingat bahwa pernah pesen jilbab ke Rika.

“o ya Rika kesana ya”

“sip nanti kalau uda di mesjid kasih tahu aja ya”

Beberapa waktu berselang HP-ku kembali bergetar. Maka aku yakin kalau Rika sudah tiba di mesjid.

“maaf ya teteh ijin nemuin temen dulu, silahkan kalian menghafal dulu nanti pas teteh datang tinggal langsung setor." ijinku pada murid-murid binaanku.

Akhirnya ditangga mesjid aku berpapasan dengan Rika gadis berkulit putih yang setiap harinya disibukkan dengan rumus hitung-menghitung.

Terhanyutlah aku dalam aktivitas jual beli dan coba mencoba khimar yang aku order darinya.

“oke teteh jadi beli yang ini” ungkapku mantap setelah mencoba khimar yang aku inginkan.

“sip teh”jawabnya.

“kalau boleh tahu kenapa Rika keluar dari pesantren?”tanyaku penasaran

“ada amanah baru teh”jawabnya

“amanah sebagai istri ya?”ucapku sekenanya dengan nada bercanda

“ia teh”jawabnya datar

“beneran? Jadi Rika udah nikah”tanyaku semakin penasaran

“begitulah teh, untuk menjaga diri. Tapi kami hanya nikah secara agama karena aku gak mau beasiswaku dicabut tersebab ketahuan menikah”

“o gitu. Alhamdulillah... barakallah ya.”ucapku lebih lanjut sambil menyalaminya.

Dari dulu aku sudah menduga kalau Rika akan segera menikah meski tak pernah mengungkapkan secara tersirat, tapi melalui pertanyaan-pertanyaan juga permintaan nasihat yang sering dia ajukan dan mengarah kesana. Sehingga aku tak begitu kaget mendengar kabarnya hari ini.

“ini masih nikah siri teh, secara agama saja. InsyaAllah kalau aku sudah sidang atau sudah wisuda, akan akad kembali, dan saat itulah baru aku undang teteh juga teman-teman untuk hadir.” terang Rika menambahkan.

Maka terjadilah percakapan-percakapan selanjutnya antara aku dan Rika termasuk cerita pencomblangan hingga hikmah-hikmah yang dia dapat setelah menikah. Dan apa yang dia pilih sungguh mengagumkanku.

“daripada khitbah sekarang sama dengan mengantung hubungan yang belum jelas lebih baik nikah aja sekalian agar status pacarannya benar-benar halal.” Ceritanya ditengah-tengah percakapan kami.

Sebelum akhir pertemuan kami aku meminta ijin padanya, “bolehkan teteh lihat foto suamimu?”

"ia teh sebentar"jawabnya kemudian dia mencari-cari foto di file galerinya.

"ini teh" tuturnya, seraya menampakkan foto mereka saat berdua di sebuah taman.

"wah mirip ya"kataku padanya.





Elfatunnisa Faridah for #30DWC days 16
Kamis, 15 Desember 2016 |

Wisuda Karimah


Aku menatap wajah itu penuh bangga. Topi toga masih bertengger di kepala gadis itu ketika aku dan dia berpapasan tak sengaja.

“Assalamua’laikum.... Teteh barokallah” sapaku padanya saat kita bertemu dan saling berjabat tangan. “walaikumsalam... aamiin teh, jazaakillahu khair” ungkapnya dengan penuh keramahan. Maka kitapun refleks berpelukkan. Kemudian ku serahkan pula setangkai bunga berwarna biru muda yang terbuat dari kain planel.

“MasyaAllah... warna bunganya ternyata selaras dengan baju yang teteh pakai”ungkapku padanya. “Ia... MasyaAllah. Dan ini kita juga serasi” ucapnya sambil menunjuk jilbabku dan jilbab yang dia kenakan. Ternyata memang benar bahwa hari itu kita memakai kerudung yang warnanya sama yaitu hijau toska pastel. Lalu kami terhanyut dalam senyuman bersama.

Hingga tak banyak perbincangan diantara kita, karena saat iru dia yang hendak mencari keluarganya dan aku yang harus segera pulang ke asrama menemui sahabat lain yang juga wisuda hari ini. Maka siang itu kitapun berpisah, meski sebenarnya dia mengajakku untuk bergabung di acara kelasnya namun aku sungkan untuk menerima tawaran itu.

Karimah, sebutlah namanya. Gadis asal kota para wali yang siang tadi wisuda itu sangat terkenal dengan kelembutannya. Bagaimana tidak tutur katanya, nada suara, senyuman dan sikapnya penuh dengan kesantunan. Hingga aku pun merasa telah jatuh cinta pada perangainya ketika kami berjumpa pertama kali dalam sebuah kajian di akhir tahun 2012.

Aku yang saat itu mendapati ada kajian di balik hijab mesjid sangat penasaran dengan ilmu yang diberikan sang pemateri lalu kudapati ada seorang gadis yang sedang menyimak dibalik hijab. Kudekati dan kusapa dia hingga akhirnya kami berkenalan kemudian aku bertanya-tanya tentang kajian yang diikutinya lalu dia pun menjelaskan dengan penuh kesantunan. Sampai-sampai aku berfikir bahwa inilah pertama kalinya mendapati perempuan seramah dan selembut dia. MasyaAllah....

Hari-hari selanjutnya kamipun rutin bertemu seminggu sekali sebagai mustami’i dalam kajian yang rutin diadakan hari ahad tersebut.
Semakin mengenal semakin tak diragukan ke-sholehahan Karimah, sesuai dengan namanya diapun memiliki akhlak yang mulia. Bukan hanya akhlak dan kesantunan diapun ternyata memilki prestasi luar biasa khususnya hari ini yang mana Karimah bisa menjadi mahasiswa terbaik se-fakultasnya. Padahal dia berkuliah di jurusan Internasional namun tak pernah sedikitpun menunjukkan ke-aku’an dengan prodi yang dipilihnya apalagi sekarang dengan prestasinya dia tetap saja merendah dan memuji Allah.

Di grup whatsapp pun ramai teman-teman mengucapkan kebanggaan dan selamat serta memujinya atas predikat sebagai mahasiswa terbaik, namun semuanya dia balikan dengan balasan doa kembali juga ia memohon agar hatinya bisa terjaga.

Mari kita belajar dari Karimah tidak hanya dari sisi kelembutan dan prestasi namun juga kesabarannya yang luar biasa. Betapa MasyaAllah semenjaknya dia bergabung di pesantren 6 bulan yang lalu maka akupun tahu kalau ternyata dia sering mengalami vertigo hingga sering sakit-sakitan selama di asrama. Namun tak pernah sedikitpun ia mengeluhkan rasa sakitnya, padahal aku tahu kalau vertigo itu sangat menyiksa.

Suatu hari ketika aku bertemu denganya di mesjid dan dia dalam keadaan sakit dia hanya berkata “mohon do’anya ya teh semoga saya bisa sabar dan semoga sakit ini bisa jadi penggugur dosa-dosa saya” dalam hati aku hanya bisa menangis mendengarnya karena sebatas yang aku lihat dan sepanjang perkenalan kami, dosa-nya sedikit. Dan betapa sabarnya sungguh luar biasa.

Tak hanya ujian dalam kesehatan, sabarnya pun telah terbukti melalui kisah tidak jadinya dia menikah dengan seorang ikhwan. Sedikit kisah cinta Karimah. Sebenarnya Karimah tak ingin jatuh cinta pada ikhwan itu meskipun ada rasa kagum ia tetap sekuat tenaga menjaga dirinya untuk tidak berkaitan dengan ikhwan yang juga ustadz tersebut. Namun tanpa diduga ibunda dan adik sang ustad sangat menyukai Karimah dan sempat mengungkapkan padanya bahwa mereka ingin agar Karimah menjadi bagian dari keluarganya. Tentulah Karimah senang dengan kabar tersebut, tapi ia tak menujukkan perasaannya dengan ekspresi berlebihan juga berusaha agar tidak berharap berlebihan. 

Namun apa mau dikata, ternyata mereka tidak berjodoh. Karena diluar dugaan ternyata sang ustad telah memilki pilihan sendiri. Meski begitu Karimah pernah bercerita padaku bahwa ia tak begitu kecewa atau bersedih akan kejadian itu karena ia sangat yakin bahwa ini adalah rencana terbaik dari Allah.

Semenjak itulah aku pun selalu menjadikan ia tempat konsultasiku mengenai kagum, cinta, dan pernikahan. Maka nasihat-nasihatnya selalu menyejukkan hatiku. Seperti tentang memilih pasangan ia ingatkan bahwa hidup hanya sebentar hanya sementara jadi tak perlu neko-neko dalam memilih yang terpenting adalah mencari imam yang beraqidah lurus, berpengetahuan islam yang cukup dan berakhlak baik.

***


Semoga Allah senantiasa menjagamu Karimah.aamiin...
HAPPY GRADUATION....



Elfatunnisa Faridah for #30DWC day's 15
Rabu, 14 Desember 2016 |

Santri Teladan


Malam itu, hujan turun dengan derasnya mengguyur kota Bandung. Tapi suasana hangat masih menyelimuti penghuni asrama Daarunnajah. Dengan berbalut mukena putih-putih yang mendominasi, dan lainnya berbagai warna, termasuk mukenaku yang berwarna biru tua, kami melaksanakan shalat magrib dengan berjamaah di aula tengah. Suasana damai menyapa hati kami. Lantunan ayat-ayat yang dibacakan imam salah satu hafidzah teman kami, mengalir dengan indahnya bagai melodi syurga memanjakan telinga-telinga kami.
Saat ku langkahkan kaki menaiki tangga putih menuju lantai 3, kakiku terhenti di lantai dua. Pintu  menuju balkon terbuka lebar-lebar. Menampakan butiran-butiran air  berjatuhan susul saling susul. Udara dingin segera menyergap pori-poriku. Dan di balkon itu aku dapati seorang akhwat dengan balutan mukena merahnya berdiri di balkon tersebut dan menyentuh butiran-butiran air yang menetes.
Aku dekati dia dan ternyata air matanya menetes seirama dengan tetesan air hujan. Ku pegang pundaknya “Ukhti...ukhti kenapa? Dari kemarin terlihat sedih terus, ada apa?” tanyaku penasaran. Dia hanya menggeleng kepala, “Eh, kenapa? Apakah sedang ada masalah” tanyaku lagi.
Dia tertunduk sejenak, kemudian menatapku dan berkata.
“Teh, sungguh aku menangis bukan karena masalah apapun. Aku menangis karena begitu banyaknya Rahmat Allah yang Dia berikan untukku. Termasuk kalian. Teman-teman seperjuanganku. Yang kita sama-sama berusaha untuk menjadi penjaga kalamNya. Ukhuwah ini yang membuat setetes air bening jatuh dari kelopak mataku.”
Aku menghela napas sejenak. Udara dingin itu menusuk kalbuku seperti halnya ungkapan yang sahabatku itu sampaikan, yang menyadarkanku untuk senantiasa bersyukur memiliki sahabat-sahabat para pecinta Al-Quran. Maka saat itu aku langsung merangkul pundaknya.

***
Aisyah, sebutlah namanya demikian. Seorang mahasiswa pecinta novel-novel Tere Liye. Senang membaca dan merangkai kata, gadis bercadar ini adalah sosok wanita sederhana, ramah dan baik hati, tidak hanya pada manusia tetapi kepada makhluk Allah lainnya.
Pernah suatu hari kami seasrama merasa kelibukan karena adanya kucing yang akan melahirkan. Kucing itu kami beri nama si Bule, sebagian santri sayang pada si Bule namun meski begitu jika si Bule masuk kamar sering kami usir karena khawatir dia akan melahirkan di kamar. Sehingga kami pun kebingungan mencari tempat untuk kelahiran bayi-bayi si bule. Lalu Aisyah berkata dengan tulusnya “biarkan dia melahirkan di lemari saya”. Maka benarlah selama dua hari lamanya dia korbankan lemarinya untuk si Bule, hingga dia bisa melahirkan anak-anaknya.
Beberapa waktu kemudian, dalam acara pembagian rapor terpilihlah Aisyah sebagai santri teladan di asrama tempat kami tinggal. Dan perghargaan ini tentulah sangat cocok untuk disandangnya.

***
02 Oktober 2015 menjadi hari bersejarah untuknya yaitu saat Aisyah menggenapkan separuh agamanya dengan seorang ikhwan yang telah ia kagumi semenjak kelas tiga SMP.
Ijinkan saya sedikit mengurai kisahnya, ‘pernikahan yang tak disangka’ mungkin begitulah judul yang tepat untuk kisahnya ini. Karena bahkan teman-teman seasrama-pun tak ada yang diberi tahu, dan dia pun masih tak percaya akan menikah secepat itu.
Aisyah tentulah gadis yang terjaga, apalagi sebagai penghafal qur’an beliau tidak ingin terjerumus ke dalam cinta semu yang berujung dosa. Maka ketika dia tahu ada ikhwan yang ingin meminangnya, dengan sangat dia berharap dan berdoa agar bisa disegerakan karena tak mau ada fitnah apapun. Dan MasyaAllah, benarlah do’anya Allah kabulkan, persiapan surat-surat nikah yang biasanya ditempuh dengan waktu sepuluh hari bisa selesai dalam waktu tiga hari, orangtua pun yang sebelumnya kurang setuju menikah cepat akhirnya merestui, sehingga baginya ini adalah sebuah anugerah.
Dan pada liburan idul adha tersebut entah mengapa ia ingin membawa gaun putihnya dari Bandung, seolah telah ada feeling akan menikah, maka ternyata gamis sederhana itu menjadi gaunnya saat akad, yang dia tak pernah tahu sebelumnya bahwa akan  menikah selepas Idul Adha.

Sedikit yang menarik dari kisahnya adalah ternyata mereka adalah dua insan yang sama-sama memendam rasa dalam diam sekitar lima tahun lamanya. Semenjak masa-masa di pesantren, sang suami adalah kakak tingkatnya yang dua tahun lebih tua darinya. Ketika ada pengajian kitab bersama seluruh santri dengan adanya hijab atau pembatas antara santri akhwat dan ikhwan. Maka mereka berdua adalah yang paling menonjol dalam mengkaji kitab kuning tersebut. Sehingga teman-temannya serta merta mengatakan bahwa mereka adalah pasangan yang serasi, sama-sama pintar. Maka dari sanalah awal tumbuhnya benih-benih cinta yang berakar pada rasa kagum. Padahal tak sekalipun mereka saling bertatap. Bahkan hingga akad tibapun sang suami tak pernah tahu bagaimana wajahnya Aisyah, karena ketika khitbahpun tak ada permintaan dari sang ikhwan untuk melihat wajahnya sementara dia telah bercadar semenjak SMP.


Maka bagiku kisah mereka sungguhlah unik dan luar biasa betapa sang suami tak memilih Aisyah berdasarkan kecantikan, kekayaan, ataupun keturunan namun hanya berdasarkan agamanya saja. Begitulah kisah yang pernah Aisyah tuturkan padaku, ketika bertanya langsung pada suaminya setelah resmi menikah.