Lautan telah ia
sebrangi hanya untuk menuntut ilmu, Banjarmasin-Bandung itulah perjalanan yang
harus dia tempuh. Awalnya merasa berat kenapa harus jauh-jauh menuntut ilmu
untuk sekedar ilmu dunia, ada apakah gerangan padahal dari kecil sampai selesai
S1 (sarjana) belum pernah sekalipun meninggalkan kampung halaman. Hingga
akhirnya Bandung memang jawaban dari sebuah mimpi yang lebih besar dari sekedar
gelar S2 (Magister), tapi juga pencapaian gelar dunia akhirat menjadi
"hafidzah"
Pertama melihatnya aku
kira dia adalah adik SMA ku yang dulu sudah hafal 8 juz. Senyumannya
mengingatku pada dia, oh tapi ternyata bukan. Namun senyum tulusnya sama.
Sebelumnya aku biasa aja dan acuh padanya namun semenjak orang-orang ramai
membicarakan banyaknya hafalan yang dia setor, sementara dia adalah mahasiswa
S2 maka akupun mulai bertanya-tanya tentang dirinya.
Hingga tibanya satu
takdir bahwa kami harus tinggal bersama dalam satu atap rumah dua tingkat
berlantaikan kayu jati. Sebut saja tempat itu rumah impian, sebuah asrama
persinggahan selama asrama kami direnovasi.
Gadis ini bernama Nura,
seperti namanya kehadirannya benar-benar memberi cahaya untuk orang
disekitarnya, senyuman tulus, kelembutan, tutur kata terjaga, kesederhanaan dan
kecerdasannya membuat semua orang menyukainya. Bahkan aku suka berkata sendiri
dalam hati “sungguh beruntung kelak yang jadi suaminya, karena mendapatkan
Nura, wanita shalehah”.
Sepanjang kebersamaan
kami tak pernah aku mendengar keluh kesahnya, bisa dikatakan dia adalah orang
yang senantiasa ridho dengan ketentuan Allah. Tidak hanya keridhoan namun
diapun memiliki hati yang tulus saat memberi, selalu dan selalu tak pernah
mengharap balas meskipun mendapat kerugian.
Atas segala
keihlasannya pantaslah ia mendapat predikat dan penghargaan sebagai “Santri
Terkhidmat” karena dengan banyaknya tugas ataupun target hafalan yang harus
dikejar tapi tak pernah sekalipun dia menolak untuk berbuat kebaikan. Salahsatunya
adalah menjaga anaknya ustadzah kami yang masih berusia tiga tahun. Sungguh aku sangat terkagum dengan semua kebaikannya,
senang berkhidmat, dan tak pernah sedikit pun terlihat membanggakan diri.
***
Siang
itu adzan dzuhur berkumandang dan aku seketika terbangun dari tidur siangku.
Segera aku menuju kamar mandi dan saat itu pintu kamarku berhadapan langsung
dengan pintu mushola yang sekaligus juga aula di asrama kami.
“Teh uda adzan dzuhur kan?” seketika aku
bertanya pada Nura yang saat itu hendak masuk aula, “ia teh sudah” maka dia
langsung menuju mushola untuk melaksanakan shalat sementara aku menuju kamar
mandi karena baru bangun tidur.
Maka selepas shalat dzuhur itu aku langsung menuju mesjid
sesuai dengan agenda harianku menghafal hingga shalat ashar tiba. Setelahnya
shalat ashar aku kembali mengulang hafalanku dan selanjutnya menju asrama DAIM (singkatan dari Daarul Iman, asrama lainnya
bagi santri tahfidz akhwat) sekitar pukul 16.30, maka kondisi asrama DAIM saat itu sedang
ramai dengan yang halaqah quran.
Ketika aku melewati teman-teman yang setoran, lantas salahsatu dari mereka bertanya “Nura sudah
pulang ke Kalimantan?” mereka mengajukan itu karena aku adalah teman asramanya.
Maka sontak aku
bertanya balik “hah pulang ke Kalimantan? Emang ada apa?...”. lalu mereka
menjawab “kan adiknya meninggal tadi pagi jam 09.00”.
“innalillahi wainna
ilahi rojiun, ah masa? tadi siang saja aku masih bertemu dan berbicara
dengannya sebelum shalat dzuhur.” Jawabku dengan wajah tak percaya.
“Ketika di kampus tepatnya jam 9 dia dikabari kalau adiknya meninggal kemudian dia diantar sama teman-teman kelasnya ke asrama.
Dan dibelikan tiket juga dengan jadwal penerbangan jam 1 katanya.”urai salah seorang teman kelasnya
Saat itu aku sedih dan tak
karuan karena merasa baru tadi pas shalat dzuhur
aku bertemu Nura dan dia terlihat biasa saja tidak terlihat ada sesuatu yang
terjadi. Aku terhanyut dalam
obrolan dan berbagai pertanyaan mengenai kematian adiknya karena memang saat
itu aku tidak memiliki HP yang ada Whatsapp sehingga aku banyak ketinggalan
info.
Maka saat itu akupun lupa kalau jam telah menunjukkan pukul lima sore
lewat, dan dalam aturan asramaku bahwa siapa saja yang pulang ke asrama melebihi jam 17.00
maka dia mendapat iqob (hukuman) untuk menyikat
seluruh WC asrama.
Aku pulang segera ke
asrama dan ternyata gerbang sudah di kunci maka aku diperbolehkan masuk dengan konsekuensi mendapat iqob (hukuman)
untuk menyikat WC. Maka aku masuk dan langsung menangis sedih, karena sama
sekali tak tahu apapun mengenai kematian
adiknya Nura.
Kemudian seseorang
teman dekat menghampiriku dan menceritakan semuanya.
Ya Allah pada saat itu
aku benar-benar ingin menangis karena terkagum padanya bahwa Nura benar-benar
telah merahasiakan kesakitan adiknya padahal hampir satu tahun lebih sang adik
menderita sakit kangker Rahim (mileum).
Betapa sakit adiknya
yang begitu parah pun dia tak mau diketahui
oleh teman-teman
dekatnya. Barulah setelah kematian adiknya semua kisah itu
terungkap juga.
Sekembalinya dari
Kalimantan setelah sekitar 2 minggu lamanya pulang, maka Nura pun kembali ke
Bandung dan dia menceritakan semua kisah adiknya termasuk bagaimana sabarnya
sang adik.
Dalam keadaan dia (adiknya) yang tahu kalau sakit
parah, namun tetap ingin
mempertahankan rahimnya karena dia ingin
bisa melahirkan. Kemudian cita-cita mulia pula dari sang adik yang
sengaja membeli alat-alat kesehatan sesuai dengan jurusannya yaitu keperawatan.
Dia berucap kepada
keluarganya kalau setelah kesembuhannya dia ingin tinggal di desa sang nenek
untuk membantu kesehatan masyarakat disana.
Aku benar-benar terharu
kepada sang adik dengan perjuangannya melawan sakit yang ganas, namun dia tetap
teguh dengan cita-cita yang mulia.
Seperti halnya sang
kakak yang hebat itu maka adiknya pun hebat. Kakak yang tak pernah mengumbar
derita dengan adanya ujian hidup yang Allah beri. Dia yang selalu tenang dengan semua tugas-tugasnya, juga segala hal
yang menyapa di hidupnya. Betapa jiwa penuh kesyukuran itu terpancar di
wajahnya.
Beberapa pekan sebelum adiknya meninggal aku sempat
bertanya perihal kematian kepadanya. “Teh kenapa ya terkadang aku masih takut mati dan
akhir-akhir ini aku sering keingetan mati terus, kalau teteh sering kayak gitu juga gak?”. Maka beliau
menjawab “kalau aku setiap ingat mati langsung jadi doa aja teh, seketika suka langsung berdo’a Ya Allah
matikan aku dalam khusnul khotimah dan semoga engkau jauhkan aku dan keluarga
dari azab kubur.”
insyaAllah to be continue...
Elfatunnisa Faridah for #30DWC
0 komentar:
Posting Komentar