Rabu, 21 Desember 2016 |

Kakak Hebat


Lautan telah ia sebrangi hanya untuk menuntut ilmu, Banjarmasin-Bandung itulah perjalanan yang harus dia tempuh. Awalnya merasa berat kenapa harus jauh-jauh menuntut ilmu untuk sekedar ilmu dunia, ada apakah gerangan padahal dari kecil sampai selesai S1 (sarjana) belum pernah sekalipun meninggalkan kampung halaman. Hingga akhirnya Bandung memang jawaban dari sebuah mimpi yang lebih besar dari sekedar gelar S2 (Magister), tapi juga pencapaian gelar dunia akhirat menjadi "hafidzah"
Pertama melihatnya aku kira dia adalah adik SMA ku yang dulu sudah hafal 8 juz. Senyumannya mengingatku pada dia, oh tapi ternyata bukan. Namun senyum tulusnya sama. Sebelumnya aku biasa aja dan acuh padanya namun semenjak orang-orang ramai membicarakan banyaknya hafalan yang dia setor, sementara dia adalah mahasiswa S2 maka akupun mulai bertanya-tanya tentang dirinya.
Hingga tibanya satu takdir bahwa kami harus tinggal bersama dalam satu atap rumah dua tingkat berlantaikan kayu jati. Sebut saja tempat itu rumah impian, sebuah asrama persinggahan selama asrama kami direnovasi.
Gadis ini bernama Nura, seperti namanya kehadirannya benar-benar memberi cahaya untuk orang disekitarnya, senyuman tulus, kelembutan, tutur kata terjaga, kesederhanaan dan kecerdasannya membuat semua orang menyukainya. Bahkan aku suka berkata sendiri dalam hati “sungguh beruntung kelak yang jadi suaminya, karena mendapatkan Nura, wanita shalehah”.
Sepanjang kebersamaan kami tak pernah aku mendengar keluh kesahnya, bisa dikatakan dia adalah orang yang senantiasa ridho dengan ketentuan Allah. Tidak hanya keridhoan namun diapun memiliki hati yang tulus saat memberi, selalu dan selalu tak pernah mengharap balas meskipun mendapat kerugian.
Atas segala keihlasannya pantaslah ia mendapat predikat dan penghargaan sebagai “Santri Terkhidmat” karena dengan banyaknya tugas ataupun target hafalan yang harus dikejar tapi tak pernah sekalipun dia menolak untuk berbuat kebaikan. Salahsatunya adalah menjaga anaknya ustadzah kami yang masih berusia tiga tahun. Sungguh aku sangat terkagum dengan semua kebaikannya, senang berkhidmat, dan tak pernah sedikit pun terlihat membanggakan diri.
***
Siang itu adzan dzuhur berkumandang dan aku seketika terbangun dari tidur siangku. Segera aku menuju kamar mandi dan saat itu pintu kamarku berhadapan langsung dengan pintu mushola yang sekaligus juga aula di asrama kami.

Teh uda adzan dzuhur kan?” seketika aku bertanya pada Nura yang saat itu hendak masuk aula, “ia teh sudah” maka dia langsung menuju mushola untuk melaksanakan shalat sementara aku menuju kamar mandi karena baru bangun tidur.

            Maka selepas shalat dzuhur itu aku langsung menuju mesjid sesuai dengan agenda harianku menghafal hingga shalat ashar tiba. Setelahnya shalat ashar aku kembali mengulang hafalanku dan selanjutnya menju asrama DAIM (singkatan dari Daarul Iman, asrama lainnya bagi santri tahfidz akhwat) sekitar pukul 16.30, maka kondisi asrama DAIM saat itu sedang ramai dengan yang halaqah quran.

Ketika aku melewati teman-teman yang setoran, lantas salahsatu dari mereka bertanya “Nura sudah pulang ke Kalimantan?” mereka mengajukan itu karena aku adalah teman asramanya.
Maka sontak aku bertanya balik “hah pulang ke Kalimantan? Emang ada apa?...”. lalu mereka menjawab “kan adiknya meninggal tadi pagi jam 09.00”.
“innalillahi wainna ilahi rojiun, ah masa? tadi siang saja aku masih bertemu dan berbicara dengannya sebelum shalat dzuhur.” Jawabku dengan wajah tak percaya.
“Ketika di kampus tepatnya jam 9 dia dikabari kalau adiknya meninggal kemudian dia diantar sama teman-teman kelasnya ke asrama. Dan dibelikan tiket juga dengan jadwal penerbangan jam 1 katanya.”urai salah seorang teman kelasnya

Saat itu aku sedih dan tak karuan karena merasa baru tadi pas shalat dzuhur aku bertemu Nura dan dia terlihat biasa saja tidak terlihat ada sesuatu yang terjadi. Aku terhanyut dalam obrolan dan berbagai pertanyaan mengenai kematian adiknya karena memang saat itu aku tidak memiliki HP yang ada Whatsapp sehingga aku banyak ketinggalan info.

Maka saat itu akupun lupa kalau jam telah menunjukkan pukul lima sore lewat, dan dalam aturan asramaku bahwa siapa saja yang pulang ke asrama melebihi jam 17.00 maka dia mendapat iqob (hukuman) untuk menyikat seluruh WC asrama.

Aku pulang segera ke asrama dan ternyata gerbang sudah di kunci maka aku diperbolehkan masuk dengan konsekuensi mendapat iqob (hukuman) untuk menyikat WC. Maka aku masuk dan langsung menangis sedih, karena sama sekali  tak tahu apapun mengenai kematian adiknya Nura.
Kemudian seseorang teman dekat menghampiriku dan menceritakan semuanya.

Ya Allah pada saat itu aku benar-benar ingin menangis karena terkagum padanya bahwa Nura benar-benar telah merahasiakan kesakitan adiknya padahal hampir satu tahun lebih sang adik menderita sakit kangker Rahim (mileum).

Betapa sakit adiknya yang begitu parah pun dia tak mau diketahui oleh teman-teman dekatnya. Barulah setelah kematian adiknya semua kisah itu terungkap juga.
Sekembalinya dari Kalimantan setelah sekitar 2 minggu lamanya pulang, maka Nura pun kembali ke Bandung dan dia menceritakan semua kisah adiknya termasuk bagaimana sabarnya sang adik.

Dalam keadaan dia (adiknya) yang tahu kalau sakit parah, namun tetap ingin mempertahankan rahimnya karena dia ingin  bisa melahirkan. Kemudian cita-cita mulia pula dari sang adik yang sengaja membeli alat-alat kesehatan sesuai dengan jurusannya yaitu keperawatan. Dia berucap kepada keluarganya kalau setelah kesembuhannya dia ingin tinggal di desa sang nenek untuk membantu kesehatan masyarakat disana.

Aku benar-benar terharu kepada sang adik dengan perjuangannya melawan sakit yang ganas, namun dia tetap teguh dengan cita-cita yang mulia.

Seperti halnya sang kakak yang hebat itu maka adiknya pun hebat. Kakak yang tak pernah mengumbar derita dengan adanya ujian hidup yang Allah beri. Dia yang selalu tenang dengan semua tugas-tugasnya, juga segala hal yang menyapa di hidupnya. Betapa jiwa penuh kesyukuran itu terpancar di wajahnya.

Beberapa pekan sebelum adiknya meninggal aku sempat bertanya perihal kematian kepadanya. “Teh kenapa ya terkadang aku masih takut mati dan akhir-akhir ini aku sering keingetan mati terus, kalau teteh sering kayak gitu juga gak?”. Maka beliau menjawab “kalau aku setiap ingat mati langsung jadi doa aja teh, seketika suka langsung berdo’a Ya Allah matikan aku dalam khusnul khotimah dan semoga engkau jauhkan aku dan keluarga dari azab kubur.”



insyaAllah to be continue...
Elfatunnisa Faridah for #30DWC

0 komentar:

Posting Komentar