Hari ini adalah hari ketiga pemutaran film Cinta Laki-Laki Biasa di seluruh bioskop di Indonesia. Sebuah film yang diadopsi dari cerpen
Asma Nadia, dan diperankan oleh Velove Vexia dan Deva Mahendra. Setelah
menonton triller film tersebut saya pun jadi teringat dengan kisah cinta yang
tak jauh berbeda, namun bagi saya ini adalah cinta perempuan luar biasa.
Inilah kisah perempuan yang bernama Shofia (nama samaran). Gadis
cantik berusia 20 tahun (2 tahun lalu). Secara penampilan Sofia bisa dikatakan sempurna dengan
kulit putih, badan langsing dan tinggi semampai serta berlesung pipi, maka
laki-laki manakah yang tak tertarik dengannya. Ditambah lagi kesantunan, kesholehahan
dan gelar “al-hafidzah” tentu membuatnya semakin layak di idolakan kaum adam.
Namun sayang tak bisa sembarang orang dapat mengungkapkan kekaguman,
menyatakan perasaan atau bahkan meminangnya. Kenapa?... Karena seolah ada
dinding menjulang untuk siapa saja yang ingin meminang Shofia, dan dinding itu
adalah ayahnya.
Shofia bukanlah gadis biasa dia adalah anak dari seorang Kiayi
yang mahsyur di kota Bandung dan sang Kiayi pun telah memiliki 5 cabang
pesantren di seluruh Indonesia. Tentulah hal ini membuat para ikhwan harus
berfikir dua kali jika ingin menikahi Shofia.
***
Sepulangnya dari karantina tahfidz di Kota Tape Shofia pun diminta
mengisi kajian di mesjid pesantren kami. Maka aku sebagai sahabat yang telah
lama merindukannya pun serta merta hadir disana untuk bertemu dan mendapatkan
ilmu darinya.
Selesai kajian aku dan Raina menghampirinya, dan bagiku dia
masih tetap sama selalu ramah dan tak pernah sungkan bercengkrama dengan
siapapun. Kemudian Shofi pun mengajak aku dan Raina untuk menemaninya
berbelanja dengan dia sendiri yang mengendarai mobilnya.
Saat mobil hendak melaju Shofi berkata “Fa aku mau nikah”. Saat
itu aku dan Raina menanggapi dengan datar. “o ya bagus, sama siapa?”ucapku. “insyaAllah
bulan depan Sofi nikah sama Arif”. Maka aku dan Raina seolah tak percaya mendengar
ceritanya, dalam waktu sebulan lagi dan sama Arif “ini demi pesantren, doain
Shofi ya!” ucapnya lebih lanjut.
Akhirnya tersebutlah laki-laki itu, Arif. Seorang laki-laki
sederhana yang mungkin tak pernah Shofi duga jika dia akan menjadi suaminya
begitupun sebaliknya.
Tentu bukanlah hal yang mudah bagi Shofi untuk bisa menerima
Arif yang menurut sebagian orang tidak sepadan jika bersanding dengan Shofia. Sebab
Arif hanyalah laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.
Ini adalah tentang komitmen begitu ungkap Shofi
dikemudian hari. Semenjak memutuskan untuk menghafal Alquran (saat keluar SMA),
dengan perjuangan luar biasa dalam belajar mencintai dan menghafal alquran juga
dengan meninggalkan semua kesenangan dan kemewahan hidup yang dijalani
sebelumnya bagi Shofi inilah saatnya untuk membuktikan komitmen itu. Sebuah
komitmen bahwa untuk sebuah pertemuan suci, janji suci, dan cita-cita suci tidak
perlu dilalui dengan sesuatu yang tidak diridhoi Allah (ex : pacaran) dan dengan
tidak menjadikan ukuran dunia sebagai orientasi dalam pernikahan.
Dan ini adalah tentang sebuah target hidup yang telah di-azamkan
Shofia jauh-jauh hari, bahwa ia akan menikah di usia 20 tahun. Maka ketika masa
itu tiba dan ia pun telah berusaha maksimal untuk menggapai mimpinya menjadi "hafidzah" juga dengan terus memperbaiki diri dan belajar (di empat pesantren
selama 3 tahun terakhir) maka dengan mantap ia berkata pada sang ayah. “Ayah
shofi insyaAllah siap menikah, terserah ayah mau memilihkan siapa, insyAllah
Shofi ikut apa kata ayah.”
Dan tentu bukan hal mudah bagi ayahanda untuk mencarikan jodoh
terbaik bagi Shofia, putri kesayanganya. Hingga akhirnya hasil istikharah
panjang sang Ayah pun membuahkan sebuah jawaban bahwa Arif “al-hafidz” adalah
seseorang yang cocok untuk Shofi dengan amanah pesantren di kemudian hari.
Shofi hanya meyakini bahwa yang menjaga agar bertemu dengan
yang terjaga, karena ia tak pernah mengenal atau bertemu Arif sebelumnya kecuali sekedar tahu nama. Sehebat dan sekeren apapun ikhwan yang mengejar dirinya ketika
proses menghafal Alquran dulu sungguh tak ia pedulikan. Karena ia hanya
meyakini bahwa pilihan Allah (melalui ayahnya) pastilah yang terbaik.
Dan kini benarlah sudah, setelah hampir dua tahun pernikahan
mereka begitu banyak anugerah dan keberkahan dari keduanya termasuk anak
pertama yang menggemaskan (kini hampir berusia satu tahun) belum lagi rizki
yang berlimpah dan karunia terbaru adalah kesempatannya untuk berkuliah di
Timur Tengah.
Bagiku cinta Shofia adalah cinta yang luar biasa, cinta yang
mengelakkan nafsu atau hasrat dunia demi menjaga Alqur’an. Sebuah cinta yang
hanya berlandaskan cinta kepada Illahi.
0 komentar:
Posting Komentar