Gadis itu bernama Layyina, usianya belum genap 13 tahun.
Kami tinggal dalam satu asrama namun berbeda lantai dan berbeda program, dia
adalah salahsatu santri tahfidz SMP. Seyogyanya aku sudah mengenal dia sejak
dulu namun karena cutiku selama 2 bulan dari pesantren membuatku tak begitu
kenal santri-santri cilik pejuang qur’an itu.
Ketika kesholehahannya jadi buah bibir teman kamarku, aku hanya
bertanya “siapa itu Layyina? Yang mana ya?” kemudian temanku hanya menjawab :
“itu teh gadis yang syahdu”. Maka aku balik bertanya maksudnya syahdu? “Silahkan
teteh perhatikan sendiri!”, perintah temanku.
Dan benarlah setelah aku tahu yang mana dan siapa gadis
cantik itu ternyata dia memang syahdu, syahdu dengan do’a-do’anya.
Untuk pertama kalinya aku berpapasan dengan dia di kamar
mandi dan dia tidak lepas untuk langsung bermunajat selepasnya keluar dari WC,
tentu dengan khasnya mengangkat tangan dan mata yang terpejam.
Setelah itu aku semakin senang dan sering memperhatikannya
dan ketika ada halaqah pun dialah santri yang paling khusus dalam do’anya. Belum
lagi cerita orang-orang yang menambah kekagumanku bahwa dialah gadis yang senantiasa
menangis dalam do’anya selepas salat. MasyaAllah aku benar-benar malu belum
bisa seperti dia.
Mungkin betapa banyak dan sering kita melupakan pentingnya
keseriusan (kesyahduan) dalam berdo’a, dan gadis kecil itu sedikitnya telah
membuatku berubah untuk belajar lebih khusu saat bermunajat, terimakasih Layyina.
[Elfatunnisa Faridah for #30DWC]
0 komentar:
Posting Komentar