Sabtu, 05 Maret 2016 |

Lamaran Sang Imam Mesjid

Mengenang kisah dua tahun yang lalu. (nama yang tercantum adalah nama samaran)

Ramadhan 1435 H.
Seorang akhwat menuturkan kisahnya padaku bahwa beliau mendapat surat dari Imam mesjid yang berada si dekat asrama baru kami. Maka setelah mendapat ijinnya saya buka surat tersebut. Yang kuingat, surat tersebut berupa dua lembar kertas putih (lose lift), halaman pertama berisi satu kata saja yaitu “Subhanallah....” lalu saya buka halaman keduanya dan tetap dengan bahasa yang sederhana sebuah ungkapan kekaguman dan selanjutnya di sana tertulis kata “Maqbul atau Mardud?” yang mana arti dari dua kata bahasa arab itu adalah “Diterima atau Ditolak?”
Ada yang lucu dibalik surat lamaran (ungkapan isi hati) sang imam tersebut, yaitu bahwa beliau tidak tahu sama sekali wajah sang akhwat yang ingin dipinangnya, yang dia tahu hanyalah namanya yaitu Aulia.

Jadi ceritanya suatu malam sebelum kami melaksanakan salat tarawih di mesjid Baitul Hidayah, sahabat saya yang bernama Aulia berkenalan dan berbincang dengan seorang Ibu yang duduk disampingnya, sahabat saya menceritakan kalau kami (santri DT) adalah warga baru di daerah ini karena asrama kami yang sedang direnovasi sehingga terpilihlah 10 orang santri untuk ikut tinggal bersama pak Kiyai di daerah tersebut.

Berhubung kami adalah santri tahfidz maka ibu itu pun menanyakan berapa juz hafalan sahabat saya tersebut, maka Aulia menjawab dengan jujur kalau hafalannya sudah sampai di juz 24 begitu juga dia diceritakan mengenai aktivitas lainnya yaitu sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir di jurusan Pendidikan Bahasa Arab UPI Bandung.

Maka dari sanalah awal mula sang Imam mengetahui tentang Aulia, karena ternyata wanita yang berkenalan dengan Aulia itu adalah tantenya. Dan ibu tersebut sepertinya sangat terkesan akan Aulia mungkin karena parasnya yang cantik, tutur katanya yang lembut, juga hafalan qur’annya yang hampir selesai. Sehingga sang tante menyarankan sang imam mesjid itu untuk memberanikan diri melamar Aulia.

Dan kenapa saya yakin kalau sang Imam tidak tahu Aulia adalah karena ketika hendak menyerahkan surat itu beliau dengan malu-malu memanggil teman saya yang baru pulang dari kampus lalu berkata “maaf, boleh nitip surat ini untuk Aulia” maka teman saya hanya menjawab “baik nanti disampaikan” padahal sebenarnya orang yang dititipinya tersebut adalah Aulia itu sendiri.

(to be continue)

0 komentar:

Posting Komentar