Mengenang kisah dua tahun yang lalu. (nama yang
tercantum adalah nama samaran)
Ramadhan 1435 H.
Seorang akhwat menuturkan kisahnya padaku bahwa beliau mendapat
surat dari Imam mesjid yang berada si dekat asrama baru kami. Maka setelah
mendapat ijinnya saya buka surat tersebut. Yang kuingat, surat tersebut berupa
dua lembar kertas putih (lose lift), halaman pertama berisi satu kata saja
yaitu “Subhanallah....” lalu saya buka halaman keduanya dan tetap dengan
bahasa yang sederhana sebuah ungkapan kekaguman dan selanjutnya di sana
tertulis kata “Maqbul atau Mardud?” yang mana arti dari dua kata bahasa arab
itu adalah “Diterima atau Ditolak?”
Ada yang lucu dibalik surat lamaran (ungkapan isi hati) sang
imam tersebut, yaitu bahwa beliau tidak tahu sama sekali wajah sang akhwat yang
ingin dipinangnya, yang dia tahu hanyalah namanya yaitu Aulia.
Jadi ceritanya suatu malam sebelum kami melaksanakan salat tarawih
di mesjid Baitul Hidayah, sahabat saya yang bernama Aulia berkenalan dan
berbincang dengan seorang Ibu yang duduk disampingnya, sahabat saya menceritakan
kalau kami (santri DT) adalah warga baru di daerah ini karena asrama kami yang
sedang direnovasi sehingga terpilihlah 10 orang santri untuk ikut tinggal
bersama pak Kiyai di daerah tersebut.
Berhubung kami adalah santri tahfidz maka ibu itu pun
menanyakan berapa juz hafalan sahabat saya tersebut, maka Aulia menjawab dengan
jujur kalau hafalannya sudah sampai di juz 24 begitu juga dia diceritakan mengenai
aktivitas lainnya yaitu sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir di jurusan
Pendidikan Bahasa Arab UPI Bandung.
Maka dari sanalah awal mula sang Imam mengetahui tentang
Aulia, karena ternyata wanita yang berkenalan dengan Aulia itu adalah tantenya.
Dan ibu tersebut sepertinya sangat terkesan akan Aulia mungkin karena parasnya
yang cantik, tutur katanya yang lembut, juga hafalan qur’annya yang hampir
selesai. Sehingga sang tante menyarankan sang imam mesjid itu untuk memberanikan
diri melamar Aulia.
Dan kenapa saya yakin kalau sang Imam tidak tahu Aulia adalah
karena ketika hendak menyerahkan surat itu beliau dengan malu-malu memanggil
teman saya yang baru pulang dari kampus lalu berkata “maaf, boleh nitip surat
ini untuk Aulia” maka teman saya hanya menjawab “baik nanti disampaikan” padahal
sebenarnya orang yang dititipinya tersebut adalah Aulia itu sendiri.
(to be continue)
0 komentar:
Posting Komentar