Jumat, 04 Maret 2016 |

Al-Hammaaduun

Bismillah, untuk #30DWC hari ke 19 ini mari kita mengulas salah satu hadist yang saya favoritkan dalam program JODOH (Just One Day One Hadits) yang sedang saya ikuti.

“Sesungguhnya hamba Allah yang paling mulia pada hari kiamat adalah “al-hammaaduun” (orang yang paling banyak mengucapkan hamdalah)”. (Hadist Shahih, riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Di sini saya tidak akan men-Syarah hadis di atas karena itu bukanlah maqom saya, hanya ingin mengisahkan beberapa pengalaman mengenai orang yang saya kenal dan pantas disebut “al-hammaaduun”.

Al-hammaaduun pertama, adalah ustad kami di pondok yang Allah amanahi sebagai pimpinan program tahfidz saat ini. Hari itu untuk pertama kali saya dan 5 orang santri lainnya berkesempatan untuk naik mobil ustad bersama sang istri dalam rangka menghadiri pernikahan salah seorang santri yang juga satu program dengan kami. Dan MasyaAllah... sepanjang perjalanan ustad tidak berhenti mengucap hamdalah, misalnya ketika lampu merah ataupun ketika macet terjadi, kata pertama yang beliau ucapkan selalu “Alhamdulillah...” padahal mayoritas orang pada umumnya kalau macet itu seringnya kesal atau mengeluh tapi ini sebaliknya.

Kemudian al-hammaaduun yang kedua sama dengan yang pertama yaitu orang yang Allah amanahi hafalan Qur’an dan santri. Beliau adalah pimpinan pesantren tahfidz akhwat di Krapyak Yogyakarta (pondok Hindun), saya rasa sebagian teman-teman sudah tahu siapa beliau.
Dalam Acara pernikahan putri Aa Gym yang ke-empat (teh Ghaitsa) saya berkesempatan untuk menjadi asisten beliau selama acara pernikahan tersebut. Ketika akad nikah telah selesai kami bermaksud menuju tempat resepsi namun saat akan keluar dari mesjid ternyata sandal beliau tidak ada di rak sepatu. Maka kami mencoba mencarikan namun tetap tak ketemu dan yang luar biasanya tak ada sedikit pun keluhan atau wajah kesal ketika tahu sandalnya hilang, justru beliau malah tersenyum dan berkata “tak apa biar jadi kenang-kenangan di DT” dan ketika saya tawari untuk memakai sepatu saya, atau memakai sandal mesjid, atau saya belikan sandal yang baru, beliau menolak dan berkata “gapapa teh saya masih ada cadangan di hotel” kemudian beliau memilih jalan kaki tanpa alas. Dan beliau tak ada sedikit pun merasa malu sebagai seorang yang terpandang untuk jalan kaki tanpa alas menuju hotel. Pun ketika hujan turun dan beliau baru sampai di Bandung, beliau tidak mengeluh meskipun harus kebasahan.


MasyaAllah... Dari kedua orang istimewa itu saya belajar mungkin memang begitulah seharusnya akhlak para penghafal Al-Qur’an dan semoga kedua guru saya tersebut menjadi orang-orang yang Allah muliakan di hari kiamat dan semoga kitapun bisa mengamalkannya sehingga termasuk di dalamnya.aamiin

0 komentar:

Posting Komentar