Bismillah, untuk #30DWC hari ke 19 ini mari kita mengulas
salah satu hadist yang saya favoritkan dalam program JODOH (Just One Day One
Hadits) yang sedang saya ikuti.
“Sesungguhnya hamba Allah yang paling mulia pada hari kiamat
adalah “al-hammaaduun” (orang yang paling banyak mengucapkan hamdalah)”. (Hadist Shahih, riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabir).
Di sini saya tidak akan men-Syarah hadis di atas karena itu
bukanlah maqom saya, hanya ingin mengisahkan beberapa pengalaman mengenai orang
yang saya kenal dan pantas disebut “al-hammaaduun”.
Al-hammaaduun pertama, adalah ustad kami di pondok yang
Allah amanahi sebagai pimpinan program tahfidz saat ini. Hari itu untuk pertama
kali saya dan 5 orang santri lainnya berkesempatan untuk naik mobil ustad bersama
sang istri dalam rangka menghadiri pernikahan salah seorang santri yang juga
satu program dengan kami. Dan MasyaAllah... sepanjang perjalanan ustad tidak
berhenti mengucap hamdalah, misalnya ketika lampu merah ataupun ketika macet
terjadi, kata pertama yang beliau ucapkan selalu “Alhamdulillah...” padahal
mayoritas orang pada umumnya kalau macet itu seringnya kesal atau mengeluh tapi
ini sebaliknya.
Kemudian al-hammaaduun yang kedua sama dengan yang pertama yaitu
orang yang Allah amanahi hafalan Qur’an dan santri. Beliau adalah pimpinan
pesantren tahfidz akhwat di Krapyak Yogyakarta (pondok Hindun), saya rasa
sebagian teman-teman sudah tahu siapa beliau.
Dalam Acara pernikahan putri Aa Gym yang ke-empat (teh
Ghaitsa) saya berkesempatan untuk menjadi asisten beliau selama acara pernikahan
tersebut. Ketika akad nikah telah selesai kami bermaksud menuju tempat resepsi
namun saat akan keluar dari mesjid ternyata sandal beliau tidak ada di rak
sepatu. Maka kami mencoba mencarikan namun tetap tak ketemu dan yang luar
biasanya tak ada sedikit pun keluhan atau wajah kesal ketika tahu sandalnya
hilang, justru beliau malah tersenyum dan berkata “tak apa biar jadi
kenang-kenangan di DT” dan ketika saya tawari untuk memakai sepatu saya, atau
memakai sandal mesjid, atau saya belikan sandal yang baru, beliau menolak dan berkata
“gapapa teh saya masih ada cadangan di hotel” kemudian beliau memilih jalan kaki
tanpa alas. Dan beliau tak ada sedikit pun merasa malu sebagai seorang yang terpandang
untuk jalan kaki tanpa alas menuju hotel. Pun ketika hujan turun dan beliau baru
sampai di Bandung, beliau tidak mengeluh meskipun harus kebasahan.
MasyaAllah... Dari kedua orang istimewa itu saya belajar
mungkin memang begitulah seharusnya akhlak para penghafal Al-Qur’an dan semoga kedua
guru saya tersebut menjadi orang-orang yang Allah muliakan di hari kiamat dan semoga kitapun bisa mengamalkannya sehingga termasuk di dalamnya.aamiin
0 komentar:
Posting Komentar