Bismillah,
Di akhir 2015 seseorang pernah bertanya padaku “seberapa
siapkah ilmu dan mentalmu dalam membangun keluarga?” mendapati pertanyaan itu
seketika aku jadi berfikir dan bertanya pada diri sendiri “seberapa siap?”....
Aku masih belajar dan akan terus belajar untuk memantaskan
diri menjadi istri sholehah. Begitu ungkapku dalam hati.
Lucunya keesokkan hari, aku langsung menemui Bunda (alumni
santri PMK yang tinggal dilantai satu asrama kami). Beliau yang telah berpengalaman lama dalam berumah
tangga di usia nya yang kini menginjak 60 tahun membuatku memilihnya untuk
menjadi guru privat pra-nikah ku (ceileh sok gaya pake guru privat
segala).hehe.... dan beliaupun telah ditinggal lama wafat oleh suaminya.
“Bun ajarin Elfa perihal rumah tangga”ungkapku polos. Tentulah
Bunda terheran dengan permintaanku dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya
yang sudah dapat diduga semua orang. Maka kesempatan itu jadilah session sharing ilmu, tapi sayangnya
privat gak berlanjut karena kesibukkan aku dan Bunda yang tidak
beririsan. :(
Di waktu lain dalam sebuah kajian pranikah, sahabat santri
yang telah berusia 28 tahun sempat bertanya pada sang pemateri “Ustadz
bagaimana kita tahu kalau kita sudah siap menikah?” sebuah pertanyaan yang
mungkin juga ada dibenak kebanyakan wanita.
Lalu Ustadz tersebut menjawab dengan sebuah analogi “kalau
misalkan di depan teteh aku letakkan sebuah barbel bagaimana teteh bisa tahu
barbel itu berat?” “ya diangkat ustadz”jawab sahabatku. “begitupun dengan
menikah, teteh akan benar-benar tahu siap atau tidak adalah dengan mencobanya,
ya uda cepet nikah”jawab sang ustad dengan simpel sambil tersenyum.
Berdasar pengalaman diatas aku mendapati sebuah kesimpulan mengenai
kesiapan. “Bahwa kesiapan akan datang seiring amanah itu datang, bukankah amanah
tidak pernah salah memilih pundak?” Aku meyakini bahwa siapapun yang telah
Allah hadirkan jodohnya maka dia telah siap (dalam kacamata Allah) sekalipun
menurut kebanyakan manusia belum cocok, dia masih kecil atau belum dewasa atau
belum bisa ini dan itu. Karena Allah Maha tahu waktu terbaik dan kesiapan
terbaik bagi bersatunya dua insan dalam ikatan suci. Dari sana tentulah harus
menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri dan belajar banyak hal sebelum Allah
hadirkan jodoh terbaik. Juga melakukan sebaiknya-baiknya bakti pada orangtua
dan menuntaskan amanah-amanah lain yang Allah titipkan. Dan bisa jadi belum
hadirnya jodoh adalah tanda bahwa Allah masih merindu rintihan do’a dan
totalitas penghambaan pada-Nya.
Aku sangat terkesan dengan sebuah kutipan yang ditulis oleh
seorang teman di akun blognya:
“Partner terbaik akan datang seiring dengan niat terbaik, tujuan
terbaik, keikhlasan terbaik, kesabaran terbaik, penjagaan terbaik, penerimaan
terbaik, pemahaman terbaik, ilmu dan amal terbaik, konsep visi misi dan
eksekusi yang baik, serta usaha dan doa terbaik”
***
Lalu adakah bekal pernikahan terbaik?... “ilmu dan pengalaman”
mungkin itulah jawabannya.
Karena bekal pernikahan tidak semata di dapat dari kajian-kajian
pranikah atau dari buku-buku pernikahan saja. Namun bekal itu nampak dan kadang
tak disadari. Salahsatunya melalui pengalaman atau interaksi keseharian kita
dengan orang-orang sekitar. Seperti apa yang kualami saat ini.
Semenjak aku pindah kamar (kebijakan pesantren) dari lantai
2 ke lantai 1 membuatku mensyukuri bekal-bekal pernikahan yang tak terduga yang
kudapat akibat dari bertetangga dengan Bunda yang aku sebutkan di awal tulisan
ini.
Ketika Bunda berkata “teteh WC nya disikat setiap masuk
kamar mandi” atau nasihat Bunda “teteh depan kamarnya harus rapi, bersih.” “Pakai
sendalnya harus khusus buat ke kamar mandi dan buat ke tanah” atau ketika aku mendapati
Bunda yang kesehariannya selalu memegang sapu jika keluar kamar. Seolah itu
adalah senjata andalannya. Banyak hal yang membuatku befikir sendiri oh mungkin kalau uda nikah mah harus begini begitu ya. Dan mungkin inilah jawaban request-ku yang tempo
dulu sehingga Allah menempatkanku berdampingan kamar dengan Bunda. :)
Dan bekal itu kudapat pula dari kebiasaan-kebiasaan kedua teman
kamarku, dari yang suka mengasuh anak kecil juga dari yang senang beres-beres. Dan
benarlah nasihat Bu Nyai kami di suatu hari : “tinggal di asrama adalah
latihan untuk memahami karakter saudara kalian. Jika saat ini teman kamarnya
akhwat maka nanti akan berganti dengan seseorang yang telah resmi jadi
pendamping hidup kalian, maka belajarlah dan manfaatkanlah kebersamaan saat ini
karena masa-masa ini sangat singkat. Belajarlah untuk dapat menerima kekurangan/
perbedaan dan contohlah kelebihan/keteladanan yang diberikan oleh teman-teman
kalian.”
Selamat berbekal, semoga siapapun yang merindukan segera Allah hadirkan pendamping terbaik. Aamiin...
Elfatunnisa Faridah, #30DWC hari ke-4
Elfatunnisa Faridah, #30DWC hari ke-4
0 komentar:
Posting Komentar