Minggu, 04 Desember 2016 |

Bekal Pernikahan


Bismillah,

Di akhir 2015 seseorang pernah bertanya padaku “seberapa siapkah ilmu dan mentalmu dalam membangun keluarga?” mendapati pertanyaan itu seketika aku jadi berfikir dan bertanya pada diri sendiri “seberapa siap?”....

Aku masih belajar dan akan terus belajar untuk memantaskan diri menjadi istri sholehah. Begitu ungkapku dalam hati.

Lucunya keesokkan hari, aku langsung menemui Bunda (alumni santri PMK yang tinggal dilantai satu asrama kami). Beliau  yang telah berpengalaman lama dalam berumah tangga di usia nya yang kini menginjak 60 tahun membuatku memilihnya untuk menjadi guru privat pra-nikah ku (ceileh sok gaya pake guru privat segala).hehe.... dan beliaupun telah ditinggal lama wafat oleh suaminya.

“Bun ajarin Elfa perihal rumah tangga”ungkapku polos. Tentulah Bunda terheran dengan permintaanku dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang sudah dapat diduga semua orang. Maka kesempatan itu jadilah session sharing ilmu, tapi sayangnya privat gak berlanjut karena kesibukkan aku dan Bunda yang tidak beririsan. :( 

Di waktu lain dalam sebuah kajian pranikah, sahabat santri yang telah berusia 28 tahun sempat bertanya pada sang pemateri “Ustadz bagaimana kita tahu kalau kita sudah siap menikah?” sebuah pertanyaan yang mungkin juga ada dibenak kebanyakan wanita.

Lalu Ustadz tersebut menjawab dengan sebuah analogi “kalau misalkan di depan teteh aku letakkan sebuah barbel bagaimana teteh bisa tahu barbel itu berat?” “ya diangkat ustadz”jawab sahabatku. “begitupun dengan menikah, teteh akan benar-benar tahu siap atau tidak adalah dengan mencobanya, ya uda cepet nikah”jawab sang ustad dengan simpel sambil tersenyum.

Berdasar pengalaman diatas aku mendapati sebuah kesimpulan mengenai kesiapan. “Bahwa kesiapan akan datang seiring amanah itu datang, bukankah amanah tidak pernah salah memilih pundak?” Aku meyakini bahwa siapapun yang telah Allah hadirkan jodohnya maka dia telah siap (dalam kacamata Allah) sekalipun menurut kebanyakan manusia belum cocok, dia masih kecil atau belum dewasa atau belum bisa ini dan itu. Karena Allah Maha tahu waktu terbaik dan kesiapan terbaik bagi bersatunya dua insan dalam ikatan suci. Dari sana tentulah harus menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri dan belajar banyak hal sebelum Allah hadirkan jodoh terbaik. Juga melakukan sebaiknya-baiknya bakti pada orangtua dan menuntaskan amanah-amanah lain yang Allah titipkan. Dan bisa jadi belum hadirnya jodoh adalah tanda bahwa Allah masih merindu rintihan do’a dan totalitas penghambaan pada-Nya.

Aku sangat terkesan dengan sebuah kutipan yang ditulis oleh seorang teman di akun blognya:
“Partner terbaik akan datang seiring dengan niat terbaik, tujuan terbaik, keikhlasan terbaik, kesabaran terbaik, penjagaan terbaik, penerimaan terbaik, pemahaman terbaik, ilmu dan amal terbaik, konsep visi misi dan eksekusi yang baik, serta usaha dan doa terbaik

***
Lalu adakah bekal pernikahan terbaik?... “ilmu dan pengalaman” mungkin itulah jawabannya.

Karena bekal pernikahan tidak semata di dapat dari kajian-kajian pranikah atau dari buku-buku pernikahan saja. Namun bekal itu nampak dan kadang tak disadari. Salahsatunya melalui pengalaman atau interaksi keseharian kita dengan orang-orang sekitar. Seperti apa yang kualami saat ini.

Semenjak aku pindah kamar (kebijakan pesantren) dari lantai 2 ke lantai 1 membuatku mensyukuri bekal-bekal pernikahan yang tak terduga yang kudapat akibat dari bertetangga dengan Bunda yang aku sebutkan di awal tulisan ini.

Ketika Bunda berkata “teteh WC nya disikat setiap masuk kamar mandi” atau nasihat Bunda “teteh depan kamarnya harus rapi, bersih.” “Pakai sendalnya harus khusus buat ke kamar mandi dan buat ke tanah” atau ketika aku mendapati Bunda yang kesehariannya selalu memegang sapu jika keluar kamar. Seolah itu adalah senjata andalannya. Banyak hal yang membuatku befikir sendiri oh mungkin kalau uda nikah mah harus begini begitu ya. Dan mungkin inilah jawaban request-ku yang tempo dulu sehingga Allah menempatkanku berdampingan kamar dengan Bunda. :)

Dan bekal itu kudapat pula dari kebiasaan-kebiasaan kedua teman kamarku, dari yang suka mengasuh anak kecil juga dari yang senang beres-beres. Dan benarlah nasihat Bu Nyai kami di suatu hari : “tinggal di asrama adalah latihan untuk memahami karakter saudara kalian. Jika saat ini teman kamarnya akhwat maka nanti akan berganti dengan seseorang yang telah resmi jadi pendamping hidup kalian, maka belajarlah dan manfaatkanlah kebersamaan saat ini karena masa-masa ini sangat singkat. Belajarlah untuk dapat menerima kekurangan/ perbedaan dan contohlah kelebihan/keteladanan yang diberikan oleh teman-teman kalian.”


Selamat berbekal, semoga siapapun yang merindukan segera Allah hadirkan pendamping terbaik. Aamiin...


Elfatunnisa Faridah, #30DWC hari ke-4

0 komentar:

Posting Komentar