Sinar remang bulan menerobos bingkai jendela yang dibuka lebar-lebar. Hari masih pagi, matahari masih enggan menyibak selimut malam. Embun masih asyik bergelayutan diujung-ujung daun.
Kehidupan
belum sempurna dimulai. Hanya segelintir orang saja yang merelakan matanya
terbuka. Berbagai aktifitas. Entahlah. “akhwat bangun... ayo kita do’a”
suara seorang akhwat diluar kamarku. Tentu suaranya sudah tak asing lagi bagiku
karena dia adalah salahsatu musyrifah yang ada di asramaku, dan aku sudah
mengenalnya sekitar tiga tahun.
Nama gadis
itu adalah Lia. Dulu dia adalah sama seperti aku saat ini yaitu santri. Namun
karena hafalannya yang telah selesai 30 juz dan juga kuliahnya yang tinggal
tugas akhir menjadikan ia diamanahi sebagai musyrifah (pengajar sekaligus
pendamping santri).
Lia adalah
wanita yang selalu bersemangat, bersemangat dalam belajar juga dalam mengajar, apalagi
jika dia bicara gestur tubuhnyapun pasti ikut bicara. Senyuman selalu terukir
di wajahnya, dan diapun senang menyemangati yang lainnya.
Memiliki
paras yang cantik dan kepintaran yang baik membuatnya di di idolakan banyak
laki-laki. Maka inilah ujiannya ketika banyaknya laki-laki yang ingin meminangnya.
Sudah
semenjak semester tiga telah ada seorang ikhwan (laki-laki) yang mendatangi
rumahnya dengan bermaksud mengkhitbahnya. Maka Lia tidak serta merta menerima
maksud dari sang ikhwan, meskipun jika dilihat dari latar belakang dan paras
sang ikhwan bisa dikatakan diatas standar orang biasa. Dan mungkin ikhwan itu
adalah salahsatu laki-laki yang memiliki banyak pengagum perempuan melihat
kesholehan dan amanahnya sebagai ketua BEM di kampus.
“aku ingin
laki-laki yang faqihu fii ddin” ungkap Lia suatu hari padaku. Itulah salahsatu
prasyarat laki-laki idaman Lia (faqihu fii ddin = paham mendalam tentang
agama). Sehingga Lia pun mantap untuk menolak khitbah dari ikhwan high profile tersebut,
karena baginya keilmuan agama lebih diutamakan.
Berjalannya
waktu Lia terus berusaha memantaskan diri, “tidak menerima pinangan sebelum
khatam” begitu prinsipnya saat menghafal alquran. Hingga ujian kembali datang
dengan adanya seorang ikhwan yang bisa dikatakan faqihu fii ddin ketika
dia memasuki hafalan di juz 22 bertepatan dengan kuliahnya di semester 7. Maka
hampir saja dia memutuskan untuk menerima pinangan dari ikhwan yang bertitle
ustad tersebut, namun apa daya orangtuanya ternyata belum merestui, tentu ini adalah skenario terbaikNya.
Maka setelah
kejadian itu Lia beranjak lebih baik dan semakin mendekat kepada Allah swt Sang Pengatur Segalanya. Ditengah-tengah curhatnya Lia bicara padaku “ini adalah buah
dosa-dosaku fa, aku harus banyak tobat”. Semakin hari semakin terlihat
kedewasaannya dan mulai pula Lia mengkaji ilmu-ilmu mengenai pernikahan dan lain sebagainya.
Setelah
mulai lupa dengan ustad yang tak jadi menjadi pendampingnya, ujian baru hadir
lagi ketika dia mulai mantap dengan laki-laki lain yang jadi pilihannya (standarnya tetap : ikhwan faqih).
Padahal saat itu dia telah menyelesaikan setoran hafalan alquran 30 juz, hingga secara
tiba-tiba ikhwan itu memilih berpaling
ke lain hati.
Ujian hati
yang mendewasakan, begitulah sepatutnya. Lia acap kali terlihat menangis
selesai shalatnya, namun dia tetap menjadi gadis yang selalu ceria dihadapan
semua orang. Hingga saat amanah sebagai musyrifah menghampirinya dia benar-benar
totalitas, berusaha bangun sebelum santri bangun, mengontrol kamar dan
keperluan santri, juga mengajar dengan ikhlas mengabdi. Maka akhlak qurani pun
mulai tampak padanya, bahwa dia menjadi orang yang sangat senang berbagi dengan
orang-orang disekitarnya. Mengenai jodoh, Lia benar-benar berpasrah baginya
amanah sebagai musyrifah lebih penting untuk dipikirkan.
“Intangsurullaha yang surkum”
(QS.Muhammad ayat 7) ucap Lia sambil menekan-nekan tangannya ke tembok ketika suatu hari aku bercerita di kamarnya. “jika
kamu menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu” itulah terjemah dari
ayat yang menjadi favoritenya tersebut.
Memperbaiki diri, belajar lebih banyak, dan melakukan yang terbaik
pada bidang yang saat ini di geluti adalah hakikat memantaskan diri bagi Lia. Maka
adakah hal yang lebih indah selain melakukan hal itu?... Meyakini bahwa Allah adalah sebaik-baiknya pengatur kehidupan yang tidak akan pernah mengecewakan hambaNya yang besungguh-sungguh.
***
0 komentar:
Posting Komentar